Kita adalah puing-puing yang berserakan
Debu-debu yang bertebaran
Nafas-nafas yang berantakan
Jemari-jemari yang berpalingan
Kita adalah matahari pagi yang ringkih
Dahaga siang yang kering
Awan sore yang menangis
Angin malam yang resah
“Untuk siapa kita hidup?”
Ia tak memalingkan muka
Badannya bergetar
Keringatnya bercucuran
Matanya membelalak murka
Lututnya melemah
Telapak kakinya seakan mengambang
Ia terjatuh
Dayanya hilang
“Kepada siapa lagi kita mengadu?”
***
Kita adalah cerita yang tak pernah selesai
Yang komanya terus melaju
Yang tanda tanyanya terus muncul
Yang titiknya tak pernah dilahirkan
Kita adalah tinta yang boros
Yang goresannya tak tahu malu
Yang kerap bercanda dengan lembar putih
Yang terjebak dalam pikiran muluk-muluk
Kita adalah waktu-waktu yang tak terhitung
Masa-masa yang tak berujung
Arti-arti yang tak terkendalikan
Memori-memori yang tak berizin
Kita adalah aku-kamu yang meracau
Yang mengigau di tiap malamnya
Yang merasuk mimpi salah satunya
dan mengendap jadi kerak.
Surabaya, 27 Agustus 2016
Debu-debu yang bertebaran
Nafas-nafas yang berantakan
Jemari-jemari yang berpalingan
Kita adalah matahari pagi yang ringkih
Dahaga siang yang kering
Awan sore yang menangis
Angin malam yang resah
“Untuk siapa kita hidup?”
Ia tak memalingkan muka
Badannya bergetar
Keringatnya bercucuran
Matanya membelalak murka
Lututnya melemah
Telapak kakinya seakan mengambang
Ia terjatuh
Dayanya hilang
“Kepada siapa lagi kita mengadu?”
***
Kita adalah cerita yang tak pernah selesai
Yang komanya terus melaju
Yang tanda tanyanya terus muncul
Yang titiknya tak pernah dilahirkan
Kita adalah tinta yang boros
Yang goresannya tak tahu malu
Yang kerap bercanda dengan lembar putih
Yang terjebak dalam pikiran muluk-muluk
Kita adalah waktu-waktu yang tak terhitung
Masa-masa yang tak berujung
Arti-arti yang tak terkendalikan
Memori-memori yang tak berizin
Kita adalah aku-kamu yang meracau
Yang mengigau di tiap malamnya
Yang merasuk mimpi salah satunya
dan mengendap jadi kerak.
Surabaya, 27 Agustus 2016