Quantcast
Channel: Within Dreams
Viewing all 131 articles
Browse latest View live

Menunggu di Bandara Ngurah Rai, Denpasar

$
0
0
Selamat malam! Saya lagi di Bandara Internasional Ngurah Rai nih. Jam 16.25 tadi, pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi terbang on time dari Surabaya. Perjalanan yang hanya memakan waktu 42 menit itu terbilang cukup nyaman. Saya duduk di seat 26C bersama perempuan seumuran saya (tapi kayaknya doi lebih muda deh) yang membawa boneka Teddy Bear dan seorang bapak-bapak. Selama perjalanan, mereka asik mengobrol tentang apa saja. Tidak bermaksud menguping, tapi omongan mereka ya kedengeran gitu sampe telinga saya. Saya sih cuek aja, karena merasa bukan urusan saya. Akhirnya saya coba tidur dan tetap saja tidak bisa. Saya emang nggak cocok tidur di pesawat, selalu nggak pernah sampe tidur nyenyak. Hehe.

Pukul 18.25 waktu Denpasar, pesawat saya mendarat dengan on time. Saya pun langsung menuju ke bagian Transfer Pesawat dan menanyakan kelanjutan penerbangan saya. Ternyata memang masih lama sih berangkatnya pesawat lanjutan itu. Masih nanti jam 22.30. Wah, saya jadi bingung mau ngapain ya. Mata saya sibuk mengamati keadaan airport yang dipenuhi turis-turis asing berpakaian santai. Enaknya saya nongkrong dulu di kafe atau langsung check-in ya? Akhirnya saya memutuskan untuk check-in terlebih dahulu. Setelah sampai di konter, untungnya sudah bisa check-in, tapi belum bisa diberitahukan gate berapa. Ya sudahlah, yang penting saya bisa request tempat duduk. Dan inilah saya sekarang. Sedang duduk di The Coffee Club. Memesan Milkshake cokelat dingin dan croissant yang hangat. Aslinya pengen cari makanan berat sih, tapi kok nggak seberapa laper juga. Ya udah lah yang penting bisa dapet tempat duduk dan colokan untuk laptop. Karena saya harus ngapa-ngapain dengan waktu yang masih tersedia banyak ini :)

***

Saya nggak nyangka karena tiba-tiba saja saya udah mau balik ke Sydney. Rasanya kayak baru kemarin saya merasa excited untuk pulang ke Surabaya. Bertemu keluarga dan orang-orang terdekat. Bertemu Ammar! Ya Ammar, keponakan kecil saya yang jadi primadona keluarga (haha aduh metaforanya kok nggak masuk sekali). Sekarang, hari ini tanggal 22 Februari 2015, saya sudah harus berangkat lagi ke Negeri Kangguru. Menyelesaikan studi S2 saya yang tinggal satu semester. Harapannya, bulan Juni nanti saya sudah menyelesaikan kuliah yang hanya setahun ini. Nggak ‘jangkep’ setahun malah. Efektifnya cuma 9 bulan kali ya.

Wah, bener-bener nggak kerasa. Nanti di Sydney saya akan ketemu teman-teman baru saya lagi. Bertemu Karina, Anti, Kikin, Fiye, teman-teman Indonesia saya disitu lainnya. Bertemu Pakde Amrih, Bude Inez, Mbak Anggi. Bertemu Audrey, Peter, Nehan, Owen, Benny, teman-teman lainnya yang tinggal di Sydney University Village. Bertemu apa dan siapa saja yang pernah saya kenal di Sydney. Rasanya jadi nggak sabar untuk mendapatkan cerita-cerita baru dari mereka. Apa saja ya yang saya lewatkan selama meninggalkan Sydney?

Oya, balik lagi tentang kegiatan kampus. Menurut kalender akademik kampus, kegiatan kuliah saya akan berakhir di bulan Juni 2015, which means perkuliahan S2 saya juga bakal selesai bulan itu. Setelah itu, saya bakal lulus dan diberi gelar MMedPrac, atau Master of Media Practice. Bismillah, semoga semuanya lancar dan saya bisa dapet pengalaman berharga, plus lulus dengan nilai yang memuaskan. Amin!

Sebelum pulang ini, saya nggak merasa sedih sih. Cuma kayak udah terlanjur keenakan di Surabaya, kayak merasa berat gitu harus mengurus diri sendiri (lagi). Hehe becanda. Nggak kok, saya tetep bersyukur banget bisa kembali ke Sydney. Saya nggak sabar untuk ngelanjutin 'petualangan' saya lagi di negeri orang. Hidup sendiri dengan orang-orang baru, budaya baru, dan pastinya, pemahaman yang baru. Kelak saya akan bikin postingan bagaimana hidup di luar negeri itu bisa merubah cara pandang kita. Semoga yang baca juga bisa mengerti bahwa hidup di luar negeri itu nggak selamanya enak, pasti ada nggak enaknya juga. Tapi sewaktu disana, saya selalu berusaha bersyukur kalo lagi ketemu yang nggak enak. Saya selalu mikir bahwa masih untung dikasih yang ‘begini’, kalo lebih buruk? Wah, jangan sampe. Saya juga selalu ngingetin diri sendiri kalo ini adalah kesempatan terbaik buat saya. Orang tua udah memercayakan saya untuk ini. Tuhan juga ‘kan berarti? Ya sudah, berarti kewajiban saya adalah menyelesaikannya dan melakukannya dengan senang hati dan ikhlas! Ini nih yang masih harus saya praktekan bener-bener. Hehe.

Pokoknya, saya mau manfaatin sisa waktu saya di Sydney sebaik dan seberguna mungkin deh. Apalagi sekarang saya kembali ke Sydney dengan keadaan yang ‘baru’. Nggak usah saya jelasin detil lah ya disini. Intinya, saya habis mengalami sesuatu yang nggak enak, yang kadang bikin saya nyesel-sedih-putus asa-seneng-bersyukur at the same time; tapi untunglah, karena dukungan orang-orang terdekat, pelan-pelan saya bisa nge-ikhlasin apa yang terjadi kemaren. Hari demi hari saya makin merasa lebih baik. Makin merasa santai dan kuat. Terima kasih banget deh buat mereka yang perhatian dan sayang sama saya *ehe jadi melankolis*.

Okay, sampai disini dulu ya. Nanti saya akan blogging lagi begitu nyampe Sydney! :)

Welcome back, Sydney!

$
0
0
Listening to: Washed Out - It All Feels Right

Hai! Akhirnya saya sampai juga di Sydney. Rasanya semacem percaya nggak percaya gitu. Tiba-tiba dalam itungan jam, udah ada di negara lain aja. Udah jauh dari rumah dan jauh dari siapa-siapa :p Tapi gak masalah, namanya juga sesuatu yang kudu dijalanin (dan dihadapin!). Jadinyalah saya sekarang berusaha adaptasi lagi, setelah hampir 3 bulan meninggalkan Sydney untuk liburan. Hehe.

Baiklah, ini saya ceritakan yang menarik-menarik dulu ya!

1. 23-24 Feb 2015: Dapet capek di bandara dan lancar saat penerbangan

Mungkin karena doa dari keluarga dan temen-temen ya, apalagi doa Eyang Mami saya yang katanya beliau sampe terlambat tidur karena berdoa terus :'), penerbangan dari Surabaya-Denpasar-Sydney terasa lancar. Walaupun saya harus menunggu agak lama di Denpasar, tapi itu justru berkesan buat saya. Nongkrong di cafe dengan order Croissant dan Milkshake cokelat seharga 80ribu (oh tidak), mengantri di bagian Imigrasi dan mendengar beberapa turis asing mengkritik petugas Indonesia, dan salah informasi tentang nomor Gate - yang mengharuskan saya jalan dari Gate 1 ke Gate 9 (jauh juga, lumayan deh rasanya apalagi sambil menenteng ransel yang isinya laptop, chargernya, dan kamera DSLR. Cukup berat untuk orang pendek kayak saya, hehe).

Pukul 22.00, saya boarding dan memasuki pesawat Garuda Indonesia dengan penerbangan GA714. Saya duduk di seat 29D; sengaja request duduk di dekat aisle demi kemudahan menunaikan 'panggilan alam', yang nyatanya tidak muncul selama perjalanan. Lucunya, di seberang saya adalah orang yang sama saat penerbangan dari Surabaya ke Denpasar. Saya jadi heran gitu, kok bisa ya kebetulan gitu. Tapi dia-nya terlihat biasa aja sih, malah cenderung cuek dan sepanjang perjalanan dia tidur dengan pulas. Haha ya udah nggak penting kok.

Di sebelah saya, duduklah sekawanan cowok muda dari Jepang. Orang yang duduk sebelah saya banget nih rupanya sangattt sopan. Dari tampang sih doi bisa dibilang terlihat cukup nerd, tapi begitu ngomong, doi sopan banget. Waktu itu pas saya udah duduk, doi dateng menghampiri dan saya spontan langsung bilang "Oh, seat 29 ya?". Pake Bahasa Indonesia, karena mengira doi orang Indonesia berketurunan Tionghoa. Terus dia bales dengan nada pelan namun pasti, "Yes, twenty nine." Saya jadi malu dan segera berdiri dari tempat duduk, memberikan space untuknya. Ditengah-tengah perjalanan, doi selalu sopan banget membalas servis dari pramugari. Misalnya ketika ditawari minum, doi selalu mengucapkan kata "please" di bagian akhir sambil malu-malu. Ketika minumannya sudah jadi, doi menerimanya sambil sedikit membungkukkan kepala dan berkata "Thank you very much". Sangat SOPAN! Saya jadi ikut sungkan sendiri. Langsung deh saya berpikir kalau everyone deserves a respectful treat from other person. Kalau nggak mau dikasarin orang, ya jangan kasar sama orang. Jadilah orang yang sopan agar orang juga bisa menghargai kita. Attitude emang bukan nomer 1, tapi at least itu yang bikin orang inget sama kita. Eh, kok jadi ceramah gini :))

Alright, seperti biasa, saya nggak bisa tidur nyenyak di pesawat. Sudah saya coba sih dengan memundurkan kursi; harapannya kepala bisa lebih rileks dan cepet ngantuk. Tapi ternyata tetep susah tidur karena dalam posisi duduk dan pantat terasa panas. Akhirnya saya menikmati entertainment service saja dengan menonton The Judge. Itung-itung juga hiburan mata karena ngeliat Robert Downey Jr. yang ganteng dan dewasa. Ehek.

Waktu pun menunjukkan pukul 7.30 pagi, saya langsung mengeset layar ke mode tinjauan penerbangan. Disitu tertulis kalau harapannya kami sampai Sydney pukul 7.50 pagi. "Wah, sebentar lagi! Nggak kerasa!," begitu rasanya. Saya segera berpikir apa yang harus saya lakukan begitu keluar dari bandara. Pastinya sih check-in ke apartemen saya, Sydney University Village (SUV). Tapi naik apa ya? Orang tua saya sebenernya lebih prefer saya naik train. Saya pun sempet setuju, karena itung-itung pengalaman baru. Mumpung di Sydney 'kan. Akan tetapi, realita berkata lain. Saat itu kondisi badan saya kurang enak, karena merasa masuk angin dan harus segera menunaikan 'panggilan alam' besar. Jadi pengen cepet-cepet sampai di SUV, mandi dan istirahat.

Sekeluarnya dari pesawat, saya langsung menuju Toilet untuk pipis dan 'menata' wajah serta rambut. Ya ampun kucel sekali saya karena seharian nggak enak tidurnya! Haha penting ya. Ya udah deh, saya lanjutin menuju bagian Imigrasi dan... YA AMPUN antrinya :O Mungkin ada 45 menit ya kami ngantri, eh entah 45 menit atau 1 jam, nggak tau lah pokoknya waktu itu saya berdoa terus semoga semuanya dilancarkan. Ternyata bener, proses imigrasi berjalan tanpa halangan, termasuk saat di bagian Declaration barang. Oh ya, waktu itu saya berniat untuk meng-declare kopi dan Almond Crispy yang saya bawa; mengingat ada kandungan telur. Ketika sampai di bagian tersebut, koper dan tas saya diendus-endus anjing petugas. Saya nggak takut sih, karena saya percaya itu bukan barang aneh-aneh. Bener lagi deh, barang-barang saya lolos dari pengecekan dan saya langsung keluar sambil mendorong troli.

Saya pun langsung mencari bangku, duduk manis, dan mengganti SIM card hape. Dari nomor Simpati, saya beralih ke nomor YES OPTUS yang merupakan nomor khusus saat tinggal di Australia. Untungnya, proses beli pulsa bisa dilakukan lewat aplikasi khusus yang terinstall di hape saya. Jadinya saya nggak perlu repot-repot mencari bakul pulsanya (yang memang ada di bandara sih). Saya cukup memilih paket data yang diinginkan, lalu membayarnya dengan memasukkan data Debit Card saya. Nanti pihak YES OPTUS nya akan otomatis memotong nominal tabungan di kartu tersebut. Sangat mudah ya?

Gak sampe semenit, saya sudah bisa menggunakan jaringan tersebut untuk menghubungi keluarga. Saya langsung bilang ke Grup BBM khusus keluarga kalau sudah sampai di Sydney. Papa saya langsung bales, trus bilang "Alhamdulillah kalo sudah sampai" dan menyampaikan kalo disana masih pagi banget. Hehe iya ding, di Surabaya masih jam 5an pagi, sedangkan di Sydney sudah mau jam 9. Ya, memang Ortu saya selalu bangun pagi untuk sholat Subuh. Kelar mengabari keluarga, saya memutuskan untuk naik taksi saja ke apartemen. Saya pun menuju bagian servis taksi di sebelah kiri pintu keluar Terminal 1. Ternyata RAME dong. Banyak juga yang rela antri dan membayar AUD 40-50an untuk sebuah servis taksi. Mungkin mereka mempertimbangkan kenyamanannya ya. He-eh, sama juga kayak saya. Saya yang udah nggak enak badan gini dan merasa masuk angin tentu pengen yang cepet. Lucunya, di tengah-tengah antri itu saya sempet kentut. BAU lagi. Saya langsung malu dan pura-pura nggak ngerti; walaupun diem-diem saya merasa bapak-bapak di belakang kayak curiga gitu sama saya. Hahaha, yaudah lah biarin. Namanya juga masuk angin.

2. 24 Feb 2015: Apartemen baru, kamar baru dan roommate baru. Semuanya baru!

Kelar membayar taksi yang ternyata memakan biaya AUD 45.00, saya langsung menuju Reception di Bligh Building, Sydney University Village. Yang menyambut saya kali itu adalah Grace; sepertinya dia karyawan baru disitu. Tapi dia sangat ramah dan terlihat paham akan kerjaannya, karena geraknya cepet dan tetep friendly. Hehe. Ternyata proses check-in untuk returning resident berjalan cepat. Saya hanya perlu menunjukkan kartu pelajar Sydney University dan membayar tagihan kebersihan untuk kamar lama dulu. Lalu Grace memberikan kunci kamar baru saya, yaitu di tipe 5 bedroom apartment dan berada di gedung paling akhir, yaitu gedung nomor 9 :).

Perasaan saya campur aduk begitu sampai didepan pintu apartemen. Antara seneng-excited-capek-nggak percaya semuanya berjalan begitu cepat-sedih-dan-gak sabar pengen mandi. Panjang amat ya. Ketika masuk, saya langsung naik ke lantai 2 dan bertemu dengan Peter, teman baik saya selama di SUV semester lalu. Saya pun langsung menanyainya macam-macam, termasuk perihal roommate kami lainnya yaitu Shaun, Laura dan Audrey. Kalau Audrey saya sudah kenal baik, karena doi juga tinggal satu lantai dengan saya dulu saat masih berada di kamar studio. Kami pun juga pernah jalan bareng ke Surry Hills Festival dan menikmati musik bersama. Doi orangnya asik deh intinya. Kalau Shaun dan Laura ini adalah teman baru yang bener-bener saya belum kenal. Kata Peter, mereka cukup pendiam dan kami harus berinisiatif mengajak mereka ngobrol. Baiklah, saya sih nggak masalah. Asalkan kehidupan bertetangga tetep nyaman aja. Hehe.

Jadi di lantai 2 itu terdapat 5 kamar, 4 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Empat kamar ini diletakkan saling berhadapan. Kamar Peter berhadapan dengan kamar Laura, dan kamar saya akan berhadapan dengan kamar Audrey. Hm, menyenangkan sekali kini punya temen di satu apartemen! Nggak seperti dulu di kamar studio, saya selalu merasa kesepian dan sering homesick. Haha. Nggak salah deh pindah ke tipe kamar shared begini. Walopun ortu sempet kuatir akan kenyamanan saya sih. Tapi kemauan saya kuat, saya cuma pengen dapet pengalaman baru dari hidup di luar negeri. Saya pengen bisa berinteraksi dengan orang baru, memahami budaya mereka dan having fun juga dengan mereka. Gimanapun kami sama-sama 'hidup sendiri', ya minimal gitu lah buat mereka-mereka yang single, at least kami punya temen untuk berbagi 'kan :)

Setelah ngobrol sedikit, Peter ijin untuk belajar di kamarnya. Yup, doi lagi mengikuti program Summer School yang diselenggarakan kampus. Peter memang anak yang rajin. Dia tergila-gila dengan Sciences dan pengen jadi perawat. He's such a lovely and sweet guy! Saya dan Audrey sudah menganggap dia seperti adik laki-laki kami deh. Senengnya lagi, Peter memberikan saya gift boneka anjing yang lucu sekali. Audrey pun juga dia kasih, tapi nanti setelah Audrey datang ke SUV dari Singapore. Wah, saya nggak nyangka banget akan ada orang 'baru' sebaik dia. Istilahnya kami kan baru kenal beberapa bulan, tapi dia sudah percaya, perhatian, dan BAIK banget dengan memberi boneka itu. Dia juga mengucapkan terima kasih banyak saat saya memberikan gift pencil case bermotif Batik. I'm a happy neighbor!

Lalu saya memasuki kamar. Wah, kamar saya masih kosong oblong! Kasurnya pun masih literally 'kasur', belum ditutupi apa-apa. Untungnya, furniturnya masih bagus dan keadaan kamar tidak begitu menyedihkan saat saya pertama kali masuk di kamar yang dulu. At least kali ini kamarnya tidak berdebu banget; saya hanya butuh tisu basah untuk membersihkan debu-debu kecil yang menempel. Asiknya lagi, my room got plenty of sunlight. Pemandangan depan kamar pun cukup menyenangkan karena tidak banyak gedung, yang berarti saya nggak perlu kuatir untuk masalah privasi. Kalau di kamar studio dulu, saya JARANG banget ngebuka tirai jendela karena malu kalo orang tahu kegiatan saya. Saya sih nggak pernah aneh-aneh di kamar, tapi tetep aja kurang nyaman rasanya. Jadinya saya bersyukur banget dan cepet ngerasa settled sama kamar baru ini.

Suasana kamar baru saya sebelum dipenuhi barang-barang

Yang waktu itu saya pikir ketika selesai menaruh barang ialah: bagaimana saya tidur nanti?. Mengingat barang-barang kos sedang saya titipkan di Storage King Alexandria dan baru bisa saya ambil esok hari (hari ini). Sempet gitu kepikiran nginep di rumah Karina, tapi jauh. Udah gitu saya nggak yakin bisa tepat waktu ke Storage King, karena akan susah bangun pagi haha. Untungnya ada kain Bali serba guna yang ada di koper. Thanks to Mama juga yang selalu ngingetin, ternyata kain Bali-nya nyaman banget untuk dibuat sprei dadakan. Juga baju-baju bawaan yang saya jadiin bantal *eaa*. Hehe.

Menjelang malem, saya mengunjungi apartemen tetangga kami dimana Owen, Nehan dan Trupti tinggal. Mereka adalah teman-teman baik saya juga selama di SUV. Mereka selalu mengundang kalau ada acara khusus; sekaligus mengenalkan saya, Audrey, dan Peter, trio kamar Studio, dengan penghuni-penghuni SUV lainnya. Saya baru tau kalo Yas sudah pindah dari SUV, karena menyusul pacarnya yang berada di Melbourne. Untuk mengisi kekosongan kamarnya, apartemen mereka kedatangan cowok dari Canada bernama Ash. I heard from Owen that he's taking a Juris Doctor in Law. Peter pun langsung berdecak kagum dan bolak-balik bilang, "Oh, I'm living with smart guys."

Beberapa menit kemudian, salah satu teman baik kami juga yang jago ngelukis, Leah datang ke apartemen Owen dengan setelan Summer dress, sandal gladiator, dan tas crossbody bermodel Fringe-nya. Artsy lah, hehe. Kami pun having short chit-chat dan memutuskan keluar mencari makan serta belanja di supermarket. Waktu itu jam 9 malam, saya, Owen, Peter dan Leah berjalan melewati kampus untuk menuju kawasan Broadway. Kampus tampak gelap dan sepi. Namun saya tetap terkagum-kagum begitu melewati The Quadrangle, gedung kebanggaan kampus yang terlihat seperti Hogwarts. Disitu telah dipenuhi stall-stall untuk kepentingan Orientation Week beberapa hari kedepan. New students are all excited, pastinya. Saya jadi inget saya dulu pas jadi maba. Ehehe jadi gaya ah.

Malam itu kami memutuskan untuk makan di Pappa Rich, sebuah restoran Malaysia yang terkenal. Saya order Roti Canai Kaya dan Organic Soy Milk. Wah rasanya lezat sekali, plus senang karena dikelilingi teman-teman saat kedatangan saya di Sydney. Alhamdulillah. Setelah kenyang, kami bergegas menuju Broadway Shopping Center, mall terdekat dari kampus yang memiliki toko-toko besar seperti Coles, Target, dan KMart. Owen pengen grocery shopping, katanya. Ya udah deh, kami belanja apa yang dibutuhkan dapur di Coles. Karena belum berkeinginan untuk memasak dan masih overwhelmed, saya cuma beli susu putih 1 liter. Nggak terasa tiba-tiba udah jam setengah 11 malem, kami langsung pulang menuju SUV sambil menenteng belanjaan masing-masing. Selama perjalanan, Leah sibuk bercerita dan menanyakan saya trivial questions seperti "Would you rather own an elephant or a giraffe as your pet?" atau "Would you rather have a jet or a ferry?". Saya menjawab yang langsung ada di pikiran aja, yaitu lebih memilih jerapah dan jet. Malam yang menghibur, memang.

Sesampai di kamar, saya menyiapkan tempat tidur seadanya dengan kain bali dan setumpuk pakaian. Saya tersenyum kecil, karena selalu saja ada hal-hal yang mengejutkan selama di Sydney. Namun tiba-tiba perasaan homesick itu datang. Nggak diundang nggak diapain, tiba-tiba saya jadi melankolis sekali *waduh*. Saya inget kalo sekarang saya udah sendiri, nggak akan denger suara Mama atau adek saya lagi di siang hari selama 5 bulan kedepan, nggak makan siang lagi dulu di hari Minggu sama keluarga, nggak ketemu Ammar dan teman-teman dekat, dan yang paling penting lagi, I'm currently not dating anyone. Sepi memang rasanya. Tapi saya selalu ngingetin diri sendiri kalo ini adalah jalan terbaik. Ini keinginan saya juga untuk kuliah di luar negeri; untuk belajar hidup mandiri dan struggling agar jadi orang lebih baik lagi :p

3. 25 Feb 2015: Menjemput barang di Storage King Alexandria 

Pukul 7.00 pagi saya terbangun dan merasa 'gopoh'. Awalnya, saya merencanakan berangkat dari jam 7.15 pagi agar bisa sampai di tempatnya sebelum jam 9.00 sesuai perjanjian. Dengan mandi cepat dan berdandan seadanya, saya segera menuju King Street dan mencari Bus Stop yang menyediakan layanan bis jurusan 370 - Coogee via Newtown Service. Perjalanan menuju kawasan Alexandria dari Newtown ternyata memakan waktu setengah jam, walaupun saya berganti bis 2x yaitu dari 370 ke 309 hingga ke bus stop terdekat. Saya jadi lega karena bisa tepat waktu dan lebih awal dari perjanjian. At least saya bisa nunjukin kalau orang Indonesia ada yang nggak 'lelet'-an, huehehe. Mumpung di negeri orang. Harus bisa mempelajari dan mempraktekkan hal positif dari budaya setempat, salah satunya tentang ketepatan waktu.

Saya pun memasukin ruang frontliner di perusahaan besar itu. Disana saya melihat dua orang familiar saat pertama kesana, yaitu Ian sang manajer dan Ondrej, asistennya. Proses "termination"-nya berjalan cepat dan 'tek-tek'. Saya hanya cukup mengisi formulir, tanda tangan, dan membayar kekurangan biaya sebesar AUD 9-an. Karena saya datang lebih awal, removalist-nya atau orang yang akan membantu saya memindahkan/mengantarkan barang belum datang. Saya pun diantarkan Ondrej ke ruang televisi sambil menunggu removalistnya. Selang beberapa menit, Ondrej menghampiri dan bilang, "Feliz (dia salah spelling nama saya, seperti kebanyakan orang hehe), the removalist has come." dan lucunya, removalisnya langsung menyapa saya dengan ceria, "HALO!" begitu katanya. Beliau berpakaian santai dan tampak seumuran dengan Papa saya, kayaknya lebih berumur lagi.

Bapak removalist tersebut pun membantu saya mengeluarkan barang dari kotak penyimpanan dan memasukkannya kedalam mobil. Saya pun ikut dengannya menuju SUV. Di perjalanan, kami bercerita banyak hal. Ternyata beliau berasal dari New Zealand bagian utara. Beliau bilang tempat tinggalnya sangat menyenangkan dan indah. Saya pun menanggapi kalau saya pengen banget kesana, tapi cuma belom punya kesempatan aja. "You should go there, it's lovely." gitu kata beliau. Intinya, di perjalanan kami banyak mengobrol tentang hidup di negeri orang. Bagaimana kami akan merasa sangat lonely dan miserable, karena nggak bisa kenalan sama orang (ini cerita dia sih waktu 'terlantar' di Los Angeles). So he thinks that "home is home", nggak ada yang bisa ngalahin rumah sendiri seindah apapun negeri orang yang lagi kita tinggalin. Setuju banget!

Ternyata jarak antara SUV ke Storage King Alexandria tidak sejauh itu apabila ditempuh dengan mobil. Cuma 10 menit deh kayaknya. Bentar kok. Sampe-sampe kami 'keblablasan' sehingga harus putar balik di jalan dekat Wentworth Building. Saya jadi sungkan sama bapak removalistnya dan bilang "Sorry" beberapa kali. Dia bilang nggak masalah. Hehe untunglah. Sesampai di SUV, saya langsung menunjukkan letak apartemen dan beliau mengantarkan barang saya satu persatu. Sebelumnya saya sempet kuatir kalo barang saya kebanyakan bagi satu orang seperti dia, but then he said "Nah, it's nothing". Dia cerita kalo biasanya dia malah bawa truk, dimana orang-orang bener pindah satu rumah ke rumah lain. Jadi wajar kalo dia menganggap barang-barang saya nggak ada apa-apanya. Haha.

Untungnya lagi, Shaun berbaik hati mengangkat barang-barang saya dari lantai 1 ke lantai 2. Wah saya bersyukur banget dan jadi sungkan sekali sama dia. Padahal barang-barang saya ini ada yang berat banget, khususnya box berisi buku dan majalah tebal-tebal. Saya lihat Shaun sampe keringetan deres. Semoga doi nggak kapok jadi roommate saya, hehe. Thank you very much, Shaun! Bantuan kamu mengurangi beban saya :')

4. 25 Feb 2015: Unpacking dan re-decorating the room

Dari dulu, packing selalu jadi hal yang paling membingungkan sekaligus yang saya anggep enteng. Tapi ternyata 'un'-packing ini lebih susah, karena saya harus menata kembali kamar baru dengan barang-barang yang tetap jumlahnya. Intinya, barang-barang yang terbiasa di volume kamar Studio ini harus disesuaikan di single room dalam shared apartment. Untungnya, barang-barang saya tidak sebanyak itu jumlahnya. Hanya kali ini saya tidak bisa menempatkan keranjang baju begitu saja di lantai, karena tidak cukup. Akhirnya setelah menata sana-sini dalam beberapa jam, saya putuskan untuk meletakkan keranjang baju kotor di rak yang tersedia. Aslinya saya kurang sreg sih, soalnya terlihat 'njebubug' dan penuh gitu rak-nya. Kurang simetris aja hahaha (teman-teman saya pasti ketawa nih). Tapi yaudah deh, yang penting ada tempatnya. Nggak kayak koper gigantic saya ini yang kekurangan tempat. Awalnya pengen saya masukin di kolong khusus di lantai 1, tapi kok kasian kopernya ya. Takutnya berjamur dan kotor gitu. Saya pun memutuskan untuk meletakkannya begitu saja disebelah meja belajar dengan ditutupi kain Bali, yang bekas sprei dadakan itu. Walaupun bulky, tapi bisa keliatan cantik deh. Halah-halah :')


Sudah diberi sprei dan diisi meja belajarnya :)

Barisan buku-buku dan mainan Mars Attacks yang saya beli dari festival setempat :)

Liat kan keranjang baju dan koper yang ditutupi kain Bali di pojokan itu?
Boneka yang diberi Peter! Ternyata Audrey juga dapet, tapi Teddy Bear. How cute!

Ya udah deh segitu dulu cerita panjangnya. Yang jelas kamar saya sekarang sudah dipenuhi barang-barang; hanya saja belum completely selesai, karena masih ada 1 koper dan 1 box yang saya titipkan di rumah Karina. Ga masalah, yang penting malem ini saya bersyukur bisa tidur dengan sprei dan bantal yang real! Hehe. Alhamdulillah. Oya, besok saya juga harus cari kipas angin nih. Ternyata kamar baru saya ini tidak dilengkapi kipas angin. Mana mungkin juga kan jendelanya saya buka terus. Kalo hujan gimana :p

Sampe ketemu lagi di postingan selanjutnya!


Cheers,

Kiza

Now playing

Spread it

$
0
0
♫ Telefon Tel Aviv - The Birds 

Nikicio NN:02 "The Songs I've Never Listened To" long sleeve tee, Ricki's shirt, unbranded legging, Cotton Ink Krey shawl

Have a peaceful semester break, everyone!
Always spread love.

Last week of my master course!

$
0
0
Hai, ketemu lagi setelah bulan Februari kemaren :)

Nggak kerasa tiba-tiba besok udah masuk Week 14 aja. Itu berarti minggu terakhir perkuliahan S2 ku di Sydney. Yes, minggu terakhir. Cepet amat ya rasanya semester ini berlalu. Postingan yang terakhir aja tentang cerita baru nyampe di Sydney, eh sekarang udah mau cabut aja (mungkin sih). 

So, my days have been great. Perkuliahanku juga untungnya nggak ada masalah, walopun kerasa lebih 'berat' semester ini sih. Mungkin karena banyak tugas production ya, seperti menulis artikel yang ngeharusin travel ke beberapa tempat, interview orang, transcribe, riset, nulis, revisi, nulis lagi sampe tahap submission. Tapi untungnya aku enjoy sih. Jadinya ya nggak masalah. Masalah kalo udah nggak tidur aja sih, hahaha *Fyi, minggu kemaren sempet 2 hari nggak tidur, tapi gak two days in a row gitu. but, tetep aja rasanya kayak zombie. Maklum biasa tidur 'penuh' 8 jam sehari soalnya*

Mendekati hari-hari terakhir di kampus, aku semacem pengen bikin semuanya lebih berarti. Cie, Kiza. Haha. Tapi bener, namanya juga udah punya kesempatan kuliah di luar. Harus dimaksimalin sambil disejajarin sama apa yang kita mau 'kan (wuidih apaan lagi sih, Kiz). Nah, untungnya pas kuliah di Sydney ini aku ketemu banyak orang asik. Salah satunya temenku Karina. Kami ada rencana bikin project gitu sebelum aku balik ke Indo tanggal 13 Juli. Jadi tunggu aja ya, akan diapdet kok! Semoga bermanfaat pokoknya :p

Meanwhile, aku lagi rajin dengerin lagu-lagu ini nih:



Sampe ketemu lagi di postingan selanjutnya!


Cheers,

Kiza

Spontan.

$
0
0
Pagi ini Sydney hujan dan aku merasa nggak enak badan. Maklum, temen-temen dirumah kebanyakan juga lagi gak sehat. Jadi mungkin nularnya dari situ ya. Anyway, aku baru aja nyelesein tugas terakhir buat semester ini. Rasanya semacem "eh, udah gini tok ta?". Abis kerasa cepet sih, tiba-tiba udah mau kelar kuliah master aja. Yaudah deh, akhirnya aku mutuskan buat nulis blog dan nyeritain pengalaman seru kemaren.

1. Awalnya mau laundry di siang hari, tapi...

So, waktu itu aku bangun siang dan pandangan langsung tertuju ke lemari. Aduh, keranjang pakaian kotor udah mau penuh aja. Waktunya laundry nih. Aku bangun dan langsung minum air putih 1 gelas kayak biasanya. Kemaren sih sempet rajin minum madu lemon anget setiap bangun tidur, tapi gara-gara minggu produktif jadi asupan sehatnya diganti sama kopi. Sekarang keadaannya udah makin slow dan aku mutusin buat ngurangin kopi. Pengen kembali ke yang sehat-sehat :p

#iwokeuplikethis
Entah kenapa semakin gede, semakin malu buat foto sendiri. Tapi karena hari itu lagi iseng, yaudah foto aja pas abis bangun tidur. Nah, dari sini bisa diliat kalo I'm not a 'daster' person, because 'daster' somehow makes me insecure. I don't know why.
Setelah mandi dan keramas, aku langsung buka laptop. Ngecek availability mesin cuci di laundry terdekat (keren banget yak bisa dimonitor kayak gini). Ternyata semua mesin masih available. Aku nggak kaget sih. Emang lagi bukan harinya ngelaundry dan ini lagi musim STUVAC, alias study vacation ato semacem libur seminggu buat persiapan ujian. Okay, now it's time then, begitu kataku dalem ati. Aku langsung ambil keranjang pakaian kotornya dan ngemilah-milah isinya.

Tiba-tiba ada dering SMS masuk di hapeku. Ternyata Karina. Doi tanya hari itu mau kemana jam 1an siang. Aku bilang belom ada rencana, yuk pergi soalnya tugas udah mau kelar, semacem begitu. Doi bales dan bilang kalo lagi di Marrickville (suburb yang deket sama Newtown, tempat aku tinggal). Setelah SMSan, kita mutuskan buat ketemu di kafe West Juliett dan makan siang disana.

2. Lunch di West Juliett dan ngobrol asik sama Karina.

Dari bus stop King Street near Missenden Road, aku naik bis rute 423 ke kafe itu. It took less than 20 mins sampe aku berenti di stop-an Enmore Road near Newington Road. Dari situ aku belok kiri, masuk ke Scouller Street, dimana aku langsung disambut mural warna-warni di kiri jalan. Rasanya pengen ngefoto, tapi ada segerombolan orang lagi ngobrol deket situ. Ya udah, karena nggak mau ngundang perhatian, aku jalan aja sambil nikmatin pemandangan sekitar.

Rasanya sempet nggak yakin kalo kafenya ada di sekitar situ, soalnya aku lagi ada di area perumahan. Aku liat Google Maps beberapa kali, just to make sure I was heading to that cafe. Emang bener sih katanya, aku disuruh jalan terus aja dan agak nyerong, nanti ketemu kafenya. Setelah menyusuri Scouller Street, aku belok kanan ngelewatin Juliett Street dan aku bisa liat kalo ada rame-rame didepan. Ternyata bener, West Juliett emang 'menyempil' di area perumahan nan damai sentosa itu. Tepatnya di 30 Llewellyn Street (bingung gak bacanya gimana, hehe). Aku emang sengaja nggak langsung duduk disitu soalnya Karina belom dateng. Jadinya aku mutusin buat duduk-duduk di taman sekitar Annette Kellerman Aquatic Centre. Ceritanya mumpung hawanya lagi bagus gitu.

Tiba-tiba ada orang yang panggil namaku. Eh ternyata Karina. Kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah bagaimana kabar tugasku. Sambil ketawa, aku bilang tugasnya hampir kelar. Tinggal masukin satu gambar dan ngecek sana sini, jadinya aku agak tenang (ini ngomongin tugas nge-layout majalah eniwei). Pas sampe di kafenya, kita disambut waiternya dan mataku langsung tertuju ke orange cake di etalase. Keliatannya enak, aku bilang ke Karina. "Tu banana cake nya juga kayaknya enak," kata Karina sambil nunjuk kue cantik disebelah orange caken. Layaknya di komik-komik, mataku seolah-olah mengeluarkan simbol hati yang meletup-letup. Ah nggak sabar nyomot kue-kue ini, batinku begitu.

Hari itu kita mesen Chicken Sandwich (plus  lime, chilly mayo, greens, coriander, mint), Banana cake with caramel icing and toasted almonds, Cappuccino dan Flat White coffee. 
Setelah dapet tempat duduk di pinggir jalan, aku buka jaket karena kepanasan. Maklum, sinar matahari Sydney yang terik langsung 'nyoss' di punggung. Aku langsung mikir, "Katanya winter, kok mataharinya terang benderang gini?". Tapi yaudahlah bersyukur aja. Mending anget daripada mendesis kedinginan di pinggir jalan 'kan. Selama makan, aku sama Karina sibuk ngobrol macem-macem. Mulai dari ngomongin karir, proyek kolaborasi kita, sampe ngomongin rambutnya temen kita. Dari situ tiba-tiba Karina nyeletuk kalo pengen warnain rambutnya hari ini, but she wasn't sure yet. Dia butuh survey harga dan mastiin hari itu nggak ada kegiatan sorenya. Aku sih ngedukung-dukung aja dan bilang kalo bisa nemenin. Akhirnya dia bilang kalo pas pulang ke apartemenku, dia mau mampir ke salon yang ada di kawasan sana.

Obrolan pun berlanjut sampe Karina nyeletuk kalo perutnya mulei mules. Aku juga mulai ngerasa perut 'berdesir'. Mungkin karena efek kopi dan emang belom 'tuntas' juga paginya. Langsung deh kita beranjak dari kursi, bayar bill dan menuju ke arah King Street. Pas aku tanya mau naik bis ato gimana, Karina bilang jalan aja. Okay, baiklah kita jalan kaki. Di tengah-tengah perjalanan, entah kenapa I really wanted to tell her something. Aku buka deh suatu rahasia ke dia, dimana rahasia itu menyangkut hal yang cewek banget. Langsung deh, kita heboh haha-hihi sampe akhirnya Karina bilang dia nggak 'tahan' lagi.

3. Ke Marrickville Metro Shopping Centre cuma buat pinjem toiletnya.

Layaknya jaelangkung, 'panggilan alam' ini emang datang tak diundang pulang tak diantar. Jadinya kita harus cari tempat terdekat yang nyediain toilet gratis. Pilihan kita pun jatuh ke Marrickville Metro Shopping Centre, mall kecil punya suburb Marrickville yang dibuka taun 1987 (lama juga ya). Pas jalan kesana, aku sempet nggak yakin kalo ada mall disana. Soalnya bangunannya ya ukuran sedang-sedang gitu, nggak yang tinggian kayak Broadway Shopping Centre. Apalagi pas ngelewatin bangunan red brick kayak yang di foto bawah ini. Aku langsung tanya ke Karina, "Emang dimana mall-nya?". Bukan karena udah kebelet banget sih, tapi emang karena nggak yakin. Doi bilang bentar lagi nyampe, tuh di depan.

Setibanya di entrace mall itu, aku makin melongo. Nggak keliatan kayak mall banget. Aku jadi inget suasana pas di Port Stephens, dimana suasana mallnya juga kayak begitu. Bangunan sedang yang kayak di-stretch gitu dan berisi toko-toko. Nggak terlalu buzzing, banyak elderly, dan terasa lebih hommy. Beda banget kayak suasana di Sydney CBD (ya iyalah, namanya juga suburb kan).

"Eh, itu lucu banget sih trolleynya. Bisa difoto nih," gitu kataku pas aku dan Karina keluar dari Marrickville Metro Shopping Centre. Hehe maklum anak era Instagram.
Aku dan Karina langsung bernapas lega begitu nemu sign toilet. Lagi-lagi aku terpana karena dinding toiletnya punya pattern vintage yang lucu gitu. Sayangnya nggak sempet aku foto, karena emang udah kebelet. Untung di pojokan ada dua toilet box yang kosong, segera deh kita masukin dan... you know what happened next :p

4. Belanja buku dan majalah bekas di King Street News Agency.

Sebagai anak Newtown, aku merasa malu ke Karina karena doi lebih ngerti wilayah ini daripada aku :p haha maklum, mainanku paling jauh cuma sampe Newtown Station. Itupun juga pas lagi makan di Cuckoo Callay bareng Anti sama Kak Yoan. Selanjutnya ya muter-muter aja di sekitar IGA, Black Star Pastry, dan resto-resto murah disekitar situ.

Anyway, I was lucky that day karena Karina nunjukin sebuah news agency yang ngejual majalah bekas berkualitas. Aku lupa pastinya alamatnya dimana, pokoknya sebelum Newtown Social Club dan nomer alamatnya 400-an. Pas disana, kita langsung sibuk flip through majalah second-nya yang bertumpuk-tumpuk. Kebanyakan sih Vogue sama Vanity Fair. Bukan tipe bacaanku sih, tapi menggiurkan banget karena cuma dihargai AUD 2.00.

Aku sempet nemu majalah YEN yang covernya beda banget. Pas aku intip isinya dan nyampe di halaman album review, aku langsung nebak itu edisi taun 2010 ato 2011 gara-gara liat albumnya Local Natives yang Gorilla Manor. Langsung deh Karina bilang cie anak musik banget. Waduh sist, yang anak musik banget kan sebenernya dikau. Bisa nyanyi, bisa main musik, udah ngeband dan berwawasan musik. Hahaha. Ya, lucu juga sih kalo dipikir bisa nebak edisi majalah dari liat album review doang. Sebenernya nggak mau terlalu cult juga, tapi ya gimana, dulu juga sempet muter tu album berkali-kali di iTunes. Otomatis ngintip taunnya juga. Hapal deh.

Inilah hasil temuanku. Total semuanya AUD 14.00!
Kelar 'memanjakan' mata, aku sama Karina ke kasir. Pas Pak Kasirnya liat majalah musik yang aku beli, doi bilang "Oh, you like music?". Aku bilang, "Well, yeah. It comes with a CD, so why not?", sambil ketawa gitu. Emang iya, alesan aku beli salah satu majalahnya adalah karena free CDnya. Terus Pak Kasirnya bilang kalo biasanya orang-orang tua aja yang beli majalah UNCUT, anak muda enggak. Dia pun langsung nyeritain suatu hari ada orang yang dateng beli majalah itu, digunting-gunting, dikliping, terus dijual di eBay dengan harga lebih tinggi. Aku ketawa-tawa dan bilang "Cool." Pas pulang, aku langsung mikir sesuatu. Pak Kasir itu emang Chinese-Australia dan pas aku liat beliau, aku nggak mengasosiasikan dirinya dengan apapun. Setelah dibilangin hal tadi, aku jadi berpikir sangat stereotipikal. Sebegitu eratnya kah hubungan antara negara China dengan bisnis? Ah, mungkin emang kebetulan pak nya lagi pengen share ke 'precil-precil' kayak aku. So, aku kudunya bersyukur aja dikasih tips bisnis kecil-kecilan dari beliatu :)))

5. Akhirnya jadi ijo!

Sekitar jam 3.30 sorean, aku dan Karina sampe di Doppelganger Hair Newtown. Sejak pertama lewat salon ini, aku langsung gemes gitu. Abisnya tampilan luar dan namanya lucu; ngingetin aku sama How I Met Your Mother, serial TV favoritku dulu. Pas masuk, Karina langsung bicara sama mbak-mbak hairdressernya yang berambut merah terang. Karina pun langsung disuruh duduk di kursi potong rambut itu dan mereka ngobrol selama beberapa menit. Ternyata bener, Karina nggak ada kegiatan sore itu dan doi memutuskan buat ngecat rambutnya saat itu juga. Aku langsung "Yayy!". Entah kenapa ikut seneng gitu. Abisnya lucu banget sih, sometimes kita nggak tau hal spontan apa yang bisa kita lakuin saat itu. You know, manusia selalu punya kekuatan dahsyat terpendam.

Doppelganger Hair Newtown.
Di belakang itu, Karina lagi dipermak rambutnya sama the hairdresser lady.
Karena proses ngewarnain rambut Karina cukup lama, aku pamit pulang ke apartemen buat ngelaundry. Begitu di tempat laundry, aku jadi geli sendiri. Selalu ada aja kejutan disana. Gimana enggak, tiba-tiba aku ngeliat ada celana dalem cewek warna ungu jatoh di lantai. Yang modelnya pake renda. Mau aku foto buat lucu-lucuan, tapi juga gimana gitu. Yaudah daripada menimbulkan fitnah, secara voluntarily aku pindahin deh itu celana dalem keatas meja. Aku tutupin the abandoned undie itu sama sepasang kaos kaki yang tak bertuan juga. Sekali lagi, biar nggak menimbulkan fitnah. Haha. Biar orang nggak mikir macem-macem gitu kan istilahnya. Sama yang penting, biar orang nggak ngira itu punya aku karena jatoh dideket mesin dryer yang lagi aku pake :)))

Kelar ngelaundry, aku ketemu Audrey yang baru pulang dari internshipnya di North Sydney. Aku bilang ke dia kalo Karina lagi ngecat rambutnya lho. Dia langsung "oh ya?" sambil antusias gitu. Kita pun ngobrol pendek dan akhirnya memutuskan buat dinner di luar. Ceritanya kita terlalu males buat masak :p

Pas sampe di salonnya Karina, aku dan Audrey semacem terpana gitu liat Karina yang rambutnya udah ijo dari luar pintu. Mbak hairdressernya pun segera ngebukain pintu dan mempersilahkan kita masuk. Oh my God, Karina berani banget dengan rambut ijo terang benderang gitu! Salut aku.

Doppelganger Hair Newtown.
Awalnya mau baca buku-buku itu kan, tapi nggak jadi karena gambarnya semacam striptis gitu. Haha.
Selama nunggu Karina selesai dibenahi rambutnya, aku share sama Audrey tentang transformasi rambutku. Aku tunjukin dia dulu rambutku pernah panjang banget pas taun 2008. Panjang dan ikal, sampe-sampe dijuluki Suzanna sama temen (astaga). Audrey surprised gitu liat rambutku panjang. Katanya aku terlihat sangat girly kalo rambutku memanjang. Terus aku tunjukin dia rambut terpendekku seperti apa. Yang pas itu bagian kirinya pendek banget kayak cowok, terus poninya memanjang kekanan. Inspirasi abis nonton This Is England pokoknya. Audrey pun langsung nyuruh aku potong begitu lagi. Eh, bentar deh ini lagi pengen manjangin rambut, hahaha.

Karina yang kini berambut ijo diapit aku dan Audrey.
Setelah Karina kelar, kita bertiga keluar dan cari makan. Di sela-sela perjalanan, Karina bilang kalo dia udah pengen punya rambut ijo gitu sejak 3 taun lalu. Wow cukup lama juga sampe akhirnya bisa kejadian ya sist! Tapi aku ikut seneng karena emang hasilnya bagus dan Karina cocok juga punya rambut warna begitu. Coba aku. Waduh nggak seberani itu deh.

Akhirnya malem itu aku, Audrey dan Karina makan di Bangkok Bites, tempat makanan Thailand baru di King Street, Newtown. Kami pesen semacem kwetiau ayam dan oseng-oseng daging sapi. Menurutku sih enak, tapi menurut Audrey dan Karina biasa aja. Haha emang dasarnya lidahku susah ngebedain mana makanan enak sama nggak enak :)))

6. Menggambar lagi.

Sesampe di apartemen, seperti biasa aku langsung nyalain laptop dan browse informasi. Aku emang lagi punya rencana, tapi bingung banget itu harus direalisasikan apa enggak. Karena kelamaan mikir, nggak sadar tiba-tiba udah jam 2 pagi dan aku belum ngantuk juga. Padahal lagi nyetel Death Cab For Cutie. Mestinya bisa lebih rileks 'kan. Eh tapi sapa bilang juga, lagu-lagunya Death Cab emang bikin kita jadi lebih 'mikir' :)

So, I grabbed my sketch book and started doodling. Seperti biasa, aku mulai dari gambar mata, idung, lalu mulut. Basic banget. Kayak anak kecil kalo belajar gambar.


Aku jadi inget kata Karina, katanya aku harus aktif menggambar lagi buat kelangsungan 'project' kita itu. Oke, kita liat aja yah. Ini aku 'manasin' tangan dulu. Hahahaha, kayak udah jagooo banget aja. Padahal masih level papan triplek ^^"

Alright, begitulah hal-hal spontan yang terjadi kemaren. Emang kadang spontaneity itu dibutuhin biar idup nggak membosankan. Biar idup itu ada ceritanya dan bisa ditulis sampe panjang di blog (eh yang ini juga gak segitunya sih, kalo kepanjangan mabok juga). Lagi-lagi aku inget kata Audrey, "Okay, we have done crazy things in our life. So, what's yours, Kiza?". Audrey nge-refer pengalaman me-nattoo punggungnya dan pengalaman Karina ngecat rambutnya dengan spontan.

Aku? Well, let's see then.

Seperempat abad.

$
0
0
15 Juni 2015 pk 22.30, kamar apartemen: "I couldn't sleep."

Aku udah terlentang di kasur. Selimut tebel itu udah aku tarik sampe leher; cukup bikin aku keliatan kayak "burrito" kalo kata Peter, si housemate. Lampu utama kamar juga udah mati, tinggal lampu belajar aja yang nyala. Dinginnya angin Sydney somehow bisa aku rasain juga di kepala dan leher. Cukup bikin aku pengen narik selimutnya lebih rapet ke leher, 'ngebungkus' diri lebih eret supaya nggak masuk angin.

Aku ngeliat jam analog yang kutaruh diatas meja belajar. Setengah jam lagi bakalan tanggal 16 Juni. Aku bakalan berulang tahun. Ya ampun, nggak kerasa banget tiba-tiba udah mau ganti umur lagi. Rasanya kayak baru kemaren bangun di kamar Surabaya, terus paginya dapet ucapan dan peluk dari Papa, Mama, adek, kakak, semuanya. Malemnya foto-foto sama kue ultah yang dibeli dari Bread Talk, tiup lilin, makan kue, terus kalo sempet langsung dinner di luar sama keluarga. Makan steak daging di Bon Ami atau Bon Cafe. 

Tahun ini? Sepertinya akan jadi ulang tahun pertamaku tanpa keluarga dan lebih lagi, di negeri orang. Not really a big deal sih for me. Tapi yang namanya pengalaman pertama, selalu bikin kita merasa beda 'kan. Ngerasa deg-degan, nervous, excited, seneng, doubtful, campur aduk pokoknya. Alhasil, malem itu aku susah tidur.

Aku liat jam lagi. Udah pukul 12 lebih. Ini tandanya aku udah berganti umur. Langsung deh aku pejamin mata dan berdoa diem-diem (ya iyalah masa keras-keras pake speaker). Nggak kerasa banget tiba-tiba udah seperempat abad juga umur ini.

16 Juni 2015 pk 08.30, kamar apartemen: "Berusaha tepat waktu!"

Aku bangun dari tidurku yang nggak nyenyak dan segera mandi. Hari ini aku akan ketemu sama temen-temen kampus di daerah Glebe. Janjiannya sih jam 9.30 pagi, karena seorang temen bakal harus ngejar pesawat jam 5 sore buat balik ke negaranya. Yaudah, jadinya aku semacem buru-buru juga walopun mandiku bisa dibilang cukup cepat. 

Jam 9 pas, aku keluar apartemen dan langsung merasakan desiran angin dingin meresap ke tubuhku (cie). Aku langsung ngebatin, "Tau gitu aku pake legging aja." Emang sih, waktu itu outfitku adalah kaos yang didobel sama sweater biru bertuliskan "Pancakes & Milkshakes" (dua jenis hidangan yang bikin aku ngiler), celana pendek mini yang aku lapisin sama tights tebel warna item, kaos kaki tebel yang diem-diem sobek di bagian jempol kaki kiri, plus sepatu boots item. Ternyata walopun udah didobel tights gitu, anginnya tetep masuk-masuk aja. Aku langsung mikir, kayaknya ini juga karena kondisi badanku yang nggak fit deh. Maksudnya karena kurang tidur itu. Maklum, standar tidurku masih 8 jam sehari soalnya :p

Aku sampai di bus stop seberang Urban Bites jam 9.10. Aku liat Google Maps di hape. Disitu bilang kalo mau ke Glebe dari Newtown bisa naik bus rute 370. Oke, aku tunggunya. Beberapa menit kemudian, aku mulai tambah gelisah. Bis-bis yang ke City kayak rute 422, 423, 426 atau 428 udah mondar-mandir dari tadi. Tapi kenapa ini bus rute 370 nggak lewat-lewat? Karena nggak mau telat, aku naikin aja deh bus yang ke City. Ntar tinggal turun di depan Broadway Shopping Centre, terus jalan ke Glebe nya.

Pukul 9.20an, aku sampe di daerah Broadway. Aku langsung SMS temenku Ling dan bilang kalo kayaknya aku bakal telat 8-10 menit, karena bis yang aku tungguin nggak lewat-lewat dan jadinya aku harus jalan kaki kesana. Ling ngebales, kira-kira bunyinya "sante aja, aku juga baru jalan dari Fisher Library (salah satu library kampus yang deket sama kawasan Glebe dan Broadway) kok". Yaudah aku sedikit lega. Tapi tetep aja, aku merasa nggak enak kalo sampe telat. Wong aku 'host'nya kok. Hehe.

Aku langsung jalan secepet-cepetnya demi nyampe tujuan tepat waktu. Pas mau deket kafenya, aku ngeliat temenku Koichi udah berdiri didepan. Dia keliatan lagi texting gitu. Aku langsung panggil doi dan bilang maaf kalo aku telat. Padahal ya nggak telat juga sih, karena ternyata aku dateng tepat waktu. Pas jam 9.30. Tapi tetep aja nggak enak karena Koichi udah dateng duluan. Terus doi bilang semacem "gak apa-apa kok, aku juga baru dateng. Ini aku baru mau ngabarin kamu." Setelah itu, kita masuk ke kafenya dan tercengang-cengang akan suasananya yang hommy.

16 Juni 2015 pk 09.30 - 12.30, Sappho Books Cafe and Wine Bar: "What is your worldview?"

Satu persatu temen-temen yang aku undang mulai berdatangan. Ada Koichi yang orang Jepang, Ling dan Eric yang dari China, dan Kwannie dari Thailand. Kami duduk berkumpul di bagian belakang cafe, dikelilingi oleh pepohonan rimbun diatas. Cuaca saat itu mendung dan sesekali kami menggigil kedinginan karena tiupan angin luar. Maklum nggak ada heater yang dipasang deket situ.

"Are you guys ready to order now?", aku tanya gitu ke mereka. Mereka ngangguk dan kami menuju loket Cashier yang sekaligus jadi tempat order. Begitu liat menunya, Ling dan Eric mengernyitkan kening. Aku paham bener maksud mereka. Pasti bingung sama nama-nama makanan yang ada di menu itu. Maklum orang Asia, kami juga nggak familiar sama 'nama keren' ingredients dalam bahasa Inggris. Mau tanya juga pengennya dijelasin sebagian besar dari nama-nama 'asing' itu. Yaudah, akhirnya aku memutuskan pesen Chicken baguette dan Chai Latte. Eric pun ku-encourage untuk memesan Chai Tea, karena dia penasaran juga sama Chai-Chai yang lagi hip di Sydney ini.

Setelah selesai memesan dan bayar di kasir, temen-temen pada bilang semacem "Kiz, ini kami udah ngumpulin duit. Kami yang bayarin ya." Aku langsung ngerespon semacem, "Eh..udah nggak usah, aku yang ulang taun, aku yang bayar. Gitu culture-nya di Indonesia." Kwannie bilang, "Okay, when you said MY culture, then we can do nothing." Hehehe, yup disini emang begitu biasanya. Yang ulang tahun yang ditraktir, bukan yang mentraktir. Pertama kali denger itu aku agak kaget, karena emang terbiasa sama custom dimana kalo kita berulang tahun, kita yang bayarin meals nya guests. But, walopun custom disini adalah sebaliknya, aku tetep pake kebiasaan yang ada di Indonesia. Selain itu juga karena aku udah bilang ke mereka di jauh-jauh hari sebelumnya kalo aku bakal traktir.

Makanan kami pun datang satu persatu. Woah, such a lovely morning. Menu sarapan yang mengenyangkan, teman-teman di sekitar, suasana kafe yang nyaman dan rimbun, good talks and... aku yang lagi berulang taun. Such a different way to start the day and spend my birthday though, karena bisa dibilang benernya aku nggak deket-deket banget sama temen-temen ini. Aku, Eric dan Ling sih emang sering ngobrol di kampus kalo perkara tugas kuliah. Aku sama Koichi baru kenal pas kuliah News Writing, karena dia terlihat setia nemenin Eric kalo dia lagi tanya-tanya ke aku tentang film Indonesia buat mata kuliah Asian Pop Culture-nya. Aku sama Kwannie? Baru kenal juga saat kami lunch bareng di En Toriciya, North Sydney. She's currently doing Master of Cultural Studies, makanya di beberapa omongan kita nyambung. Jadinya aku undang dia deh di sarapan pagi hari ini.

Searah jarum jam: Koici, Eric, Kwannie, Ling dan saya.

Chai Latte dan Chicken Baguette.

Selama makan, kami mengobrol tentang banyak hal. Kebanyakan sih tentang budaya masing-masing. Tapi lama kelamaan arah pembicaraan lebih ke masa depan, seperti tentang marriage, karir, dan pilihan hidup. Cie berat juga. Haha tapi lovely banget emang. Aku enjoy-enjoy aja ngomongin ini, karena mereka rata-rata lebih tua dari aku. Jadi semacem dapet 'pelajaran idup' juga dari mereka yang lebih 'duluan' daripada aku. Yang lebih menarik lagi ketika kami ngomongin tentang marriage, karena bulan Oktober ini Ling akan menikah dengan her long-term boyfriend. Kami saling share tentang rencana masing-masing. Salah satu dari kami ada yang berpandangan "I don't believe in marriage" dan very skeptical tentang itu. Aku sih nggak kaget, karena udah mulai akrab sama pilihan hidup kayak gitu ketika aku kuliah S1. I mean, tolerance ku akan hal-hal itu mulai 'terasah' saat aku belajar Sastra Inggris, karena disitu kami belajar humanity dan paham-paham bervariasi yang bikin kita makin mengapresiasi perbedaan di dunia ini. So, aku bersyukur aja karena bisa jadi lebih open-minded tentang hal ini. Aku pribadi nggak bilang itu dosa atau aneh kalo emang ada orang yang milih untuk nggak nikah, karena menurutku setiap orang punya hak buat nentuin jalan idupnya masing-masing.

Terus kami ngomongin masalah karir, yang ujung-ujungnya jadi kayak refleksi gimana kita memandang dunia dan sekeliling. Kwannie bilang umurku yang 25 ini bisa dibilang masih muda and still long way to go gitu, tapi Eric dan Ling berpendapat kalo 25 itu semacem umur turning point di keidupan. Dari situ lah akhirnya kami mengutarakan gimana pandangan kami akan hidup. Kwannie bilang kalo kita nggak bisa terus-terusan compare kesuksesan kita sama orang lain, karena pace hidup setiap orang itu beda. Ada yang cepet, moderate, ataupun lambat. Masing-masing juga punya definisi sukses berbeda. Jadi doi bilang, stop comparing ourselves with others. Aku setuju banget sih tentang itu. Setiap orang emang individual yang unik, yang terdiri dari ilmu, pengalaman, paham dasar berbeda sejak kecil. Otomatis pasti ada lah suatu elemen yang bikin beda 'kan, entah itu kecil ataupun yang sangat obvious.

Eric bilang kalo umur 25 itu adalah saat body cewe deteriorating. Kwannie dan Ling nggak setuju. Mereka bilang itu bakal berlaku setelah umur 30. Aku jadi semacem "Oh my God, this is really my time." Kwannie langsung ngerespon, "Oh, don't worry." Dia nge-encourage kita semua buat tetep enjoy sama apa yang kita lakuin dan make the most of it. Setelah ambil dua kali kuliah postgraduate, Kwannie bilang dia sangat bersyukur karena mampu melakukan itu saat umurnya masih muda. Muda dalam arti belum masuk 40an ya aku nangkepnya. Yes, lagi-lagi aku setuju sih. Selagi masih semangat, sekolah lagi itu nggak ada ruginya kok. Selain dapet ilmu, bisa dapet pengalaman-pengalaman kayak gini ini. Sharing sama orang-orang yang berbeda background budaya, umur, dan pastinya pandangan akan hidup. Bikin kita jadi merasa lebih 'diverse' in terms of asupan pengetahuan dan lagi-lagi, bikin kita lebih bisa mengapresiasi orang lain.

Setelah melihat jam masing-masing, kami realise kalo udah harus ninggalin kafe tersebut. Saat itu ujan gerimis, jadi kami semacem agak 'gopoh' juga pas keluar dari sana karena lumayan kecipratan air ujan. Kami pun berpelukan satu sama lain; mengingat Eric akan balik for good ke China nanti jam 5 sore. Ah, nggak nyangka juga kalo waktu berjalan secepat ini. Tiba-tiba aja abis ketemu temen baru, harus berpisah lagi. Tapi yang namanya idup yah, people come and go. Yang penting tinggal gimana kita memposisikan diri kita sama mereka ya. Kita 'celebrate' keadaan mereka atau enggak. Kita milih mau belajar dari mereka ato enggak. Eh, kok jadi kesini sih pembicaraannya. Haha.

Intinya, aku bersyukur bisa kumpul sama mereka and diskusi tentang macem-macem. Lagian mereka juga sweet banget. Mereka pada ngasih kado gitu. Eric dan Ling ngasih aksesori yang berhubungan dengan "luck" dan shio-ku, which is a horse. Kwannie ngasih gelang cantik yang ada kupu-kupunya dan Koichi ngasih komik manga judulnya Monster. Dia bilang dia nggak tau kesukaan ku apa, jadi dia beliin buku itu. Aku sih udah makasihhh banget ke mereka untuk itu. Itu tandanya mereka udah keluarin effort untuk bikin aku seneng 'kan :)

16 Juni 2015 pk 20.00, apartemen: "Kecoak dan Happy Birthday!"

Aku lagi natep layar leptop waktu itu dan sempet kepikiran gimana spend ultahku di malem hari itu. Lagi-lagi aku inget orang rumah yang selalu udah siap sama kue, lilin dan kamera HP. Pas lagi melankolis gitu, tiba-tiba aku denger housemate aku Audrey teriak "Kizaaaa, there's a cockroach!". I was like, "Oh, sh*t. Where is it?". Aku langsung ambil sapu lidi mini dan 'serok' andalan yang selalu aku pake buat bunuhin kecoa ato laba-laba di rumah. "Where is it?," tanyaku, soalnya si Audrey nggak lagi ada di lantai kamar kita. "Downstairs!" teriak Audrey dari bawah. Aku segera turun sambil ngebawa sapu lidi itu.

Pas sampe di anak tangga paling bawah, tiba-tiba nyanyian "Happy Birthday" dilantunkan. Ahhh ternyata Karina, Anty, Peter, Audrey, Shawn dan Owen udah kumpul dibawah sambil bawa kue ulang taun! HOW SWEEEEETTT. Aku langsung ketawa ngakak sampe jongkok-jongkok karena merasa konyol sambil bawa sapu lidi. Aku denger Audrey bilang, "See, when you said 'cockroach', it worked on Kiza!". Temen-temen senyum-senyum dan aku pun tersipu malu pas ngedeketin kue ultah itu. Mereka bilang "Ayo tiup lilinnya dan make a wish". Segera deh aku make a wish dan tiup lilinnya. Temen-temen pun langsung menghujani ku dengan kado. Eh, nggak ujan juga sih. Pokoknya langsung pada kasih kado. Aku buka langsung disitu, karena emang disini kebiasaannya kalo abis kado ya langsung dibuka, gak pake nunggu-nunggu malu gitu.

Yang bikin makin seneng, temen-temen ini ngasih kadonya juga berhubungan sama yang aku suka. Housemates kasih kado mug Mulga dari Monster Threads, yang bikin aku semacem histeris karena aku suka banget sama karya-karyanya Mulga. Karina kasih aku aksesori dari Dotti berupa tote bag cantik motif paisley warna biru dipadu baby pink, kacamata item trendi, sama kalung warna-warni yang lovely banget. Udah gitu birthday card nya gradasi warna pink ala-ala Pantone gitu. Lucu banget! Kalo Anty, dia kasih birthday card yang bisa nyanyi, tepatnya lagunya Roy Orbison yang "You Got It" (ini aku baru tau setelah googling eniwei, haha). Liriknya "Anything you want, you got it. Anything you need, you got it, baby....". Haha hilarious banget kan. Pokoknya aku seneng, terharu dan tersipu lah pas itu. Thank you so much ya teman-teman! :)


Foto polaroid dari kamera Anty. Ini aku dikelilingi Audrey, Karina, Anty, Owen, Peter dan Shawn.
Kado G4oeL dari Karina. Haha. Suka banget aku sis, makasih ya :*
Kado dari Owen! Lucu banget, so today. Hehe
My housemates know I love Mulga's illustrations so much!
The birthday card that can sing. Thank you Anty!
Begitulah ceritaku saat ulang taun di negeri orang. Banyak pengalaman baru yang sebelumnya nggak aku rasain di Surabaya, kayak obrolan-obrolan yang erat akan perbedaan budaya macem siapa yang kudu bayar ketika makan dan ada yang ultah, gimana disini aku jadi cockroach buster dan itu cukup jadi 'trik' ngemanggil aku untuk kasih surprise, dan kado-kado soswit dari temen-temen dengan latar belakang berbeda. I feel grateful for this day!



P.S. Postingan ini benernya ditulis tanggal 20 Juni 2015. Tapi demi timing yang tepat, aku ubah settingan date-nya ke tanggal 16 Juni :)

Free Days in Sydney: Week 1 (recap + thoughts)

$
0
0
Mulai tanggal 13 Juni 2015, bisa dibilang aku udah 'free' dari kegiatan kampus. Ya, tugas-tugas akhir sudah aku kumpulkan dan kini tinggal menanti hasil. Jadinya lah aku punya waktu untuk kembali menulis blog, entah hanya sekedar menceritakan pengalamanku atau mencurahkan pikiran-pikiran yang cenderung reflektif. Hehe. Okay, inilah rekapitulasi minggu pertama!

Senin, 15 Juni 2015 

1. Ke Light Show di Museum of Contemporary Art, Australia

Sebenernya udah dari dulu aku sama Anty pengen ke pameran ini, tapi kemaren emang baru sempet gitu. Dengan berbekal duit AUD 20, kami siap mengantri didepan counter tiket bersama rombongan ibu muda, para bayinya dan dua kakek lokal. Sambil menunggu, sesekali aku curi pandang ke para ibu ini dan bayi-bayinya yang di stroller. How cute, batinku. Cute dalam arti mereka sama-sama bawa anak dan ke pameran seni. I mean, aku jarang ngeliat hal itu di kota asalku, dimana setauku mama-mama muda kalo ngumpul ya di mall sambil makan bareng gitu, ato mungkin belanja (?). Tapi disini, mereka memilih ke gallery yang bisa dibilang di pucuk Sydney CBD dan menikmati karya-karya hebat disana.

Pandanganku pun beralih ke dua kakek yang mengantri di sebelah aku dan Anty. Hal yang sama kurasakan saat ngeliat ibu-ibu tadi. Maksudku, di kota maju seperti Sydney ini, aku bisa ngerasain kalau karya seni itu dinikmati oleh masyarakat dari seluruh umur. Nggak kayak di Surabaya yang kalo pameran macem gini ini mungkin akan banyak dinikmati anak muda. Intinya, di Sydney aku sering merasa kalo kegiatan seni berbudaya itu nggak cuma banyak dilakukan sama mereka yang in their twenties, tapi juga sama para elderly yang 'kakung' banget ato anak-anak SD. Bahkan pameran yang "kvlt" macem Zine Fair aja nyisipin activities yang bisa diikuti anak-anak. Jadi aku semacem surprised aja dan semacem salut sama budaya disini.

Setelah ibu-ibu itu kelar bertransaksi, aku dan Anty maju ke counter dan disambut ramah oleh staff MCA. Seperti biasa mereka menyapa, "Hi, how's it going?". Udah hapal sama custom tersebut, kami jawab, "Good. Thanks." Kami bilang kalo pengen ke Light Show dan staff tersebut mengiyakan. Tiba-tiba Anty nyeletuk dan tanya kita bisa nggak masuk pake harga Concession, bukan harga Adult. Ternyata bisa. So, instead of paying AUD 20, aku dan Anty beli tiket ke Light Show dengan harga AUD 15 per orang. Lumayan lebih murah AUD 5, bisa dibuat beli kopi satu hehe (kembali beberapa cents malah). 

Tiket ke Light Show yang aku foto beberapa hari selanjutnya. Hehe.

Sesampe di area pameran, kami berdua menyusuri karya 17 seniman internasional yang sebelumnya ditampilkan di Hayward Gallery, London. Para seniman ini ialah James Turrell, David Batchelor, Jim Campbell, Carlos Cruz-Diez, Bill Culbert, Dan Flavin, Ceal Floyer, Jenny Holzer, Ann Veronica Janssens, Brigitte Kowanz, Anthony McCall, François Morellet, Iván Navarro, Katie Paterson, Leo Villareal, Conrad Shawcross dan Cerith Wyn Evans. Kebetulan favoritku adalah karya dari seniman dengan nama awalan C, yaitu Carlos Cruz-Diez dengan "Chromosaturation" (2008), Cerith Wyn Evans dengan "S=U=P=E=R=S=T=R=U=C=T=U=R=E (‘Trace me back to some loud, shallow, chill, underlying motive’s overspill…’)" (2010) dan Conrad Shawcross dengan "Slow Arc Inside a Cube IV" (2009). Karya mereka ini sukses bikin aku melongo-longo karena lovely banget kalo diliat dan 'dirasakan'.

Sayangnya, para pengunjung nggak dibolehin foto-foto karena lampu flash dari kamera bisa "interfere" sama artworksnya dan ganggu "experience" orang lain. Tapi yang namanya orang-orang era socmed yah, maunya tetep foto diem-diem biar hasilnya bisa ditunjukin ke publik. Alhasil kalo kita search "#mcalightshow" di Instagram, kita bakalan liat seratusan foto saat orang mengunjungi pameran ini. Kalo kata Anty, mungkin kita nggak dibolehin foto karena ini pameran yang memungut biaya. Hm, make sense juga sih.

Ini BUKAN karya yang terdapat di Light Show, melainkan karya di salah satu ruang pamer Museum of Contemporary Art. Abisnya boleh difoto sih :p

2. Jalan kaki menyusuri Sydney Harbour Bridge

Kelar liat Light Show, aku dan Anty buka Google Maps buat liat arah menuju Sydney Harbour Bridge. Anty nyuruh aku buat inget-inget lagi jalan kesananya gimana. Oh my, urusan inget jalan ini emang kelemahanku. Dulu sih aku udah pernah kesana pas ikutan day trip kampus bareng international students lain, tapi entah kenapa aku lupa jalan menuju sana. Abisnya waktu itu kami dipandu sih, bukan cari sendiri. Akhirnya setelah coba rute sana-sini, aku dan Anty nyampe juga di jembatannya. Pemandangan awal yang kami liat ialah rentetan orang yang lagi jogging. Aku langsung, "Waduh kayaknya aku salah pake sepatu deh," sambil liat sepatu Docmart ku yang notabene lumayan berat. Trus Anty bilang, "Ya dicoba aja jalan sampe tengah-tengah. Kalo capek, baru kita balik lagi." Merasa seperti 'kalah' kalo misal kayak gitu, aku segera meyakinkan diri kalo the boots won't mess with me, karena emang udah terbiasa pake itu kemana-mana.

Salah satu bangunan di kawasan The Rocks yang menarik perhatianku. Bisa matching gitu yah warna tanemannya sama garasinya :)

Menurut website resmi Pemerintah Australia, Sydney Harbour Bridge mulai dibangun tahun 1924 dan dibuka pada tahun 1932. Saat pengerjaannya, 16 pekerja kehilangan nyawanya dan rumah 800 keluarga dihancurkan tanpa kompensasi. Walopun begitu, jembatan ini menempati urutan ke-6 buat kategori "the longest arch bridge spans" dengan bentangan sepanjang 503 meter ato 1.650 kaki. Sydney Harbour Bridge juga diklaim sebagai "the world's largest steel arch bridge" dengan bagian atas jembatan yang berdiri 134 meter dari permukaan air laut (statistik ini terakhir diapdet bulan Agustus taun 2008).

Untuk para pejalan kaki seperti aku dan Anty, pemerintah Australia nyediain fasilitas footway di bagian timur Sydney Harbour Bridge yang dikenal juga dengan sebutan "The Coathanger". Terakhir pas aku kesana sih footway-nya udah dikasih tanda dua arah sepanjang jalan, jadi ngga ada ceritanya orang jalan ditengah-tengah dan ganggu arus. Ini termasuk salah satu topik pembicaraanku sama Anty pas jalan. Aku semacem menggumam, "Wah, mau jalan di jembatan aja ada aturannya ya." Anty nge-respon, "Iya, hal-hal kecil begini aja diatur. Emang sih kalo mau bikin Indonesia jadi lebih baik, ya harus mulai dari culture orang-orangnya dulu." Aku mangut-mangut tanda setuju. Terus Anty bilang, "Ini kalo di Indonesia udah ada orang-orang yang jualan di pinggir jalan." Kami langsung ketawa-ketiwi ngebayangin bedanya suasana jembatan di Sydney dan di kota-kota Indonesia. Tapi didalem ati mungkin kami merasa miris, karena disini aja orang mau diatur sampe ke masalah jalan kaki di jembatan. Selama pengamatanku, orang-orang sini ya nurut aja gitu sama aturan yang berlaku. Mereka yang dateng dari arah The Rocks ya jalan di samping kiri, yang dateng dari arah North Sydney jalan di sebelah kanan. Menarik ya. Coba kalo di Indonesia, mungkin kita-kita ini udah menyebar dan sibuk ber-selfie/wefie ria sepanjang jembatan. Sampe orang yang mau jalan mungkin ikutan nengok atopun harus 'menggak-menggok' demi menghindari orang lain.

Sydney Harbour Bridge, 15 Juni 2015.

Terus aku mikir lagi ketika melihat security guards yang berjaga di sepanjang jembatan. Aku tanya ke Anty, "Eh itu security buat apa ya ditaruh disini? Kan udah ada CCTV gitu." Anty bergidik nggak tau dan becanda kalo Australia kebanyakan duit, jadi mampu naruh staff buat jagain jembatan. Aku ikut ketawa, tapi masih terheran-heran juga karena hal semacem gini nggak ada di Indonesia. Masa ada gitu 'kan satpam yang tiba-tiba ditaruh di tengah jembatan. Yang ada malah tadi tuh, penjual asongan ataupun (maaf banget) pengemis. Nah di Sydney Harbour Bridge ini, aku  ngeliat dua penjaga yang terlihat hanya berdiri memantau keadaan setempat. Sesekali aku liat mereka jalan beberapa langkah juga sih, tapi aku nggak tau mau ke arah mana. Pas aku nulis postingan ini, aku jadi penasaran dan nyoba browse kenapa ada guards yang ditaruh di jembatan tersebut.

Tigabelas tahun lalu tepatnya 28 November 2002, salah satu program di ABC Local Radio, The World Today, udah ngebahas masalah keamanan di Sydney Harbour Bridge. Dalam transcript program itu, Paul Willoughby dari the New South Wales' Roads and Traffic Authority bilang, "There are huge numbers of people obviously who cross the bridge on a daily basis. There's more than 100,000 vehicles, there's pedestrians, there's cyclists. There's thousands of people on trains in both directions. It's simply not possible and we don't want to, we're not trying to check those people. But this is a visible presence on the bridge. It's people who are patrolling the bridge and have an ability to provide an alert to police if that's necessary." Dari statement itu, aku menyimpulkan kalo security guards itu ada di jembatan simply buat patroli dan ngebantu ngasih alert ke polisi kalo ada apa-apa. Bukan buat ngecekin barang orang yang keluar-masuk jembatan satu-satu, seperti apa yang didiskusiin presenter dan vox pop pas siaran saat itu.

Ternyata menyusuri Sydney Harbour Bridge juga nggak sejauh itu kok, cuma 1 kilometeran jalan yang berarti sama dengan 1.500-an langkah (ini estimasi dari website sih). Lumayan. Nggak kerasa juga karena disambi ngobrol sama Anty. Kalo sendirian, apa kerasa lebih capek ya? Nggak juga rasanya. Abisnya selama jalan, para pedestrian bisa menikmati pemandangan landscape pelabuhan Sydney yang sibuk. Sydney Opera House yang cantik pun juga terlihat dari atas; bener-bener bikin foto jepretan kita makin "Instagramable" :p. Kalo pengen yang lebih serius, bisa mampir ke Pylon Lookout dimana visitors bisa belajar tentang sejarah dan konstruksi Sydney Harbour Bridge. Aku sama Anty sih pilih jalan terus aja, karena akan ada biaya kalo mengakses site itu secara keseluruhan. Hehe, maklum duitnya udah dibuat nonton Light Show :)))

Pemandangan yang aku potret dari Pylon Lookout.

Pasangan yang jalan didepanku ini soswit lho. Hehe nggak penting. Nggak ada maksud stalking mereka kok, ini cuma kebetulan pada masuk di frame foto aja.
Sesampai di ujung jembatan, aku dan Anty jalan menuju Milsons Point Station untuk tujuan berikutnya, yaitu Sydney CBD. Kami emang berencana window shopping di mall sekitaran sana, terutama The Galeries dimana Muji baru aja buka di Sydney. Aku juga kepikiran mau ke Kinokuniya Bookstore buat ngecek titipan Pucan. Yaudah, akhirnya kita turun di Town Hall Station dan jalan menuju mall itu. Aktivitas kami di sore hari yang mendung itu berakhir di suatu kafe (aduh lupa namanya!) yang nyediain merk kopi favorit Anty. Karena lagi agak flu, aku mesen teh Lemongrass and Ginger. Pas pesenanku dateng, ternyata aku langsung dikasih 1 teapot gede gitu. Sukses dah bikin badan jadi makin enak besoknya.

Selasa, 16 Juni 2015

Late dinner di Lulu and YumYum dan makan dessert di Max Brenner Chocolate Bar

Kelar acara surprise ultahku, aku, Anty dan Karina makan malem di Lulu and YumYum, sebuah dumpling house yang 'keren' dan (ehem) cukup hipster di Newtown. Disana kami memesan 3 menu makanan, salah satunya adalah Flying Seafood Dumpling. Merasa kurang kenyang, kami bertiga mampir ke Max Brenner Chocolate Bar di deket apartemenku untuk sebuah dessert. Disana, Karina memesan hot dark chocolate, sementara aku dan Anty memesan cheesecake karena tergiur dengan tampilannya. Udah ngerasa cukup kenyang, kami sempet mikir mau lanjut ke Sydney CBD buat karaokean. Tapi akhirnya nggak jadi karena merasa udah terlalu malem (padahal ya masih jam 11 sih).

Rabu, 17 Juni 2015

1. Brunch di Cafe Shenkin, Enmore

Sehari setelah ulang taunku, Karina, Anty dan aku jalan kaki dari Newtown ke Enmore untuk brunch bareng. Ya, brunch culture di Australia emang masih hangat dibicarakan. Berbeda dengan New York dimana brunch "comes with benefits" seperti alkohol, brunch di Australia lekat dengan pressed juices dan kopi. Aku sendiri biasanya kalo di Indo nggak pernah brunch, karena emang selalu bangun pagi jadi jatuhnya breakfast. Tapi kalo disini, entah kenapa bangunnya siang melulu kalo nggak ada plan apa-apa. Mungkin karena hawanya yang 'kemul-able' ya, bikin mata pengen lama-lama merem dan menikmati lanjutan mimpi indah semalem. Hayah.

Anyway, malemnya aku sempet browsing kafe apa di Enmore yang enak buat brunch. Salah satu hasil yang keluar ialah Cafe Shenkin yang tersebar di kawasan-kawasan 'hip' Sydney, macem Newtown, Enmore, Erskineville dan Surry Hills. Di malem itu, Karina tertidur dikala aku lagi browsing karena dia abis minum obat flu. Alhasil kami belum bener-bener bikin keputusan akan makan dimana. Jadinyalah di pagi hari itu kami mutusin jalan aja menyusuri Enmore dan pilih tempat makan saat itu juga.

Pas didepan Cafe Shenkin tepatnya di 129 Enmore Road, the three of us were like "Eh, gimana? Disini aja kali ya." Kami pun masuk ke kafe kecil yang bernuansa hangat dan friendly itu. Sayang banget waktu itu aku lupa nama makanan yang kami pesen, yang jelas aku pesen Chai Latte dan Karina sempet nambah Apple Babka, kue ragi manis khas Polandia. Babka yang dipesen Karina ini ENAK banget, bikin aku jadi pingin balik lagi deh kesana. 

2. Mengunjungi graffiti site di Phillip Lane, Enmore

Kenyang makan, kami bertiga semacem bingung mau ngapain lagi. Karina musti cabut jam 1, sementara aku dan Anty berencana ke pameran foto di State Library of New South Wales. Mumpung di Enmore, akhirnya kami jalan ke sebuah gang yang penuh graffiti di Enmore. Tepatnya di sekitar Thurnby Lane, Wilford Street dan Phillip Lane. "Kamu kok bisa tau tempat-tempat ini sih?" tanya Karina saat itu. Aku jelasin kalo waktu itu aku emang jalan kaki aja menyusuri Newtown dan Enmore, liat kanan kiri, masuk ke gang-gang demi ngedokumentasiin graffiti yang aku pake buat tugas kuliah. "Sendirian?" Karina balik tanya. "Iya," jawabku. Sambil jalan memasuki Thurnby Lane, kami pasang mata secara seksama, cari spot yang bagus buat foto-foto. Ehe, biasa cewek gitu loh.

Phillip Lane, Enmore.

Ketika ngeliat mural gambar cewek di pojokan Phillip Lane, kami jadi tertarik mengeksplor gang itu. "Pas aku foto-foto, waktu itu ada artist yang lagi gambar disini gitu. Tadinya mau aku wawancara buat tugas, tapi nggak jadi deh," ceritaku sambil nyengir. Yes, waktu itu aku emang sempet ngeliat ada dua orang lagi pegang spray can dan lagi bikin artwork. Sayangnya, aku malu-malu dan memutuskan ngelewatin mereka yang seharusnya bisa jadi narasumber artikelku. Tapi ternyata bener, aku udah punya cukup banyak narasumber buat artikel 1000 kata itu dan keputusanku nggak wawancara 2 orang itu bisa dibilang cukup wise (?).

Pas masuk Phillip Lane, kami bertiga tercengang gitu karena graffiti disitu bagus-bagus! Aku jadi nyesel karena nggak ngefoto itu dan naruh di artikelku. Tapi yaudahlah, namanya juga dikejar waktu juga. Lagian sang dosen juga kasih nilai yang bikin aku semacem "Yang bener nih, Pak?", hehe Thank God deh. Ngeliat karya apik kanan kiri, lucunya kami bertiga jadi semacem bagi-bagi spot foto. Pilihanku jatuh di sebuah karya bernuansa kuning yang aku pikir cukup mewakili karakterku (ih apaan sih, Kiza. Haha becanda), Anty pilih yang warna biru dan Karina pilih yang di seberang itu, which is nuansa hitam putih. Pokoknya seneng deh disana, karena sepi juga nggak ada orang yang ngeliatin.


Anty yang lagi berpose.


Karina yang lagi bermaksud 'mengerjai' ku saat aku pengen motret graffiti dibelakangnya. Kupikir-pikir lucu juga jadinya :)

3. Lagi-lagi ke Marrickville Metro Shopping Centre buat pinjem toilet

It happened again. Tiba-tiba perut kami bertiga berdesir, minta 'dituntaskan' urusannya. Jadinya kami jalan cepet ke Marrickville Metro Shopping Centre buat pake toiletnya (lagi).

4. Menikmati pameran foto di State Library of New South Wales

Didalam perpustakaan umum ini, aku dan Anty terkesima sama foto-foto yang ditampilkan as part of three exhibitions, yaitu World Press Photo 2015, Amaze, dan Sydney Morning Herald Photos1440. Aku nggak bisa bilang mana favoritku yah, yang jelas karya-karya photojournalism disitu hebat semua! Kalo kata temen sih bikin merinding. Bener juga. Foto-foto disana emang mampu menimbulkan beberapa reaksi emosional para pengunjung. Aku pun sempet spotting salah satu pengunjung wanita yang bergeleng-geleng saat ngeliat foto tentang negara China. I mean, sebegitu powerfulnya sebuah foto sampe bikin orang terheran-heran, terharu, simpatik, marah, jijik, senang, nostalgic atau apapun.

"In books lies the soul of the whole Past Time: the articulate audible voice of the Past, when the body and material substance of it has altogether vanished like a dream." (Thomas Carlyle)

Suasana library. Cantik ya!

5. Melihat double rainbow

Sepulang dari pameran foto itu, aku dan Anty sempet late lunch di Jamie's Italian Sydney, makan dessert bernuansa green tea di Chanoma Cafe, sampe akhirnya kami berpisah di kawasan Haymarket. Anty memutuskan buat langsung pulang ke apartemennya, sedangkan aku menuju ke Priceline buat cari make up remover. Seselesainya dari Priceline, aku milih jalan kaki sampe rumah karena waktu itu lagi peak hour dan aku berasumsi kalo bis bakalan rame.

Pas ngelewatin Railway Square, aku ngeliat orang-orang pada menengadah keatas gitu, semacem liat langit. Aku noleh 'kan, oh ternyata ada double rainbow yang cantik! Warna pelanginya pekat gitu dan terlihat sangat kontras dengan langit abu-abu bernuansa oranye. Sebuah pemandangan yang priceless. Aku pun memilih jalan terus ketika orang-orang banyak yang berhenti untuk ngefoto pelangi tersebut (nggak mau rasis sih, tapi kebanyakan yang foto itu kita kita orang Asia hahaha. Eh, tapi ada juga beberapa orang lokal yang ngeluarin hapenya di tengah jalan dan ngejepret pemandangan itu).

Lucunya, saat aku jalan, didepanku ada seorang wanita muda berpakaian formal yang terlihat lagi ngejar pemandangan bagus itu. Aku perhatiin ekspresi mukanya yang sumringah banget, sampe-sampe aku ngebayangin dia ada di sebuah scene film drama Korea (yang nggak pernah aku liat juga sih. btw jadinya sangat stereotipikal gini ya, maaf maaf). Dari situ aku tetep memutuskan jalan terus tanpa berhenti dan memotret pemandangan itu, dengan alesan pengen "enjoying that priceless moment". Cie. Tapi bener lho. Kadang kalo sambil motret itu fokus kita terbagi 'kan, kita jadi nggak konsentrasi menikmati hal-hal yang (mungkin) lebih indah kalo diliat dari mata telanjang. Bukan dari lensa kamera.

Kamis, 18 Juni 2015

Ke Mascot mengambil titipan makanan dari Surabaya dan lanjut nonton Game of Thrones

Siang hari itu aku spontan pergi ke kawasan Mascot untuk menemui Tante Fara, temennya Papa. Aku naik train dari Central Station menuju Mascot Station dan jalan kaki ke apartemen beliau. Pas sampe disana, Tante Fara langsung mempersilahkan masuk dan ngeliatin titipan ikan bandeng dari Papa. "Papamu itu ngirim 24 biji bandeng ke rumah Mami Tante lho, Kiza. Coba, ini Tante apa disuruh jualan bandeng di eBay?" canda beliau. Aku langsung melongo. "Kiza nggak nyangka juga kalo Papa ngirimnya bakal sebanyak gitu, Tante," timpalku sambil nyengir-nyengir. Aku lirik plastik abu-abu yang ada di samping kitchen. "Oke, jadi ini punyamu ya, Kiz. Duh maaf Tante nggak punya plastik bagusan. Plastiknya 'menye-menye' gini." kata Tante Fara sambil buka-buka rak lemari di dapur. "Oh, tenang aja, Tante. Kiza udah siap kok." Aku segera ambil tas hitam yang merupakan merchandise "Jakarta Whiplash '93 (re-revisited)", sebuah performance art karya Wok The Rock dan Lara Thoms yang ditampilin di 4A Centre for Contemporary Asian Art pada 31 Mei 2015 kemarin. "Semoga cukup," gumamku saat coba memindah dan memasukkan items yang ada di plastik abu tadi ke tas hitam itu. Oke, ternyata cukup! Aku dan Tante Fara pun mengobrol asik sampai jam 14.45an. Aku memutuskan pulang saat itu juga karena Tante Fara harus ke City satu jam lagi.

Saat di stasiun kereta, aku agak worried karena ikan bandeng yang kubawa ini baunya kuat banget! Aku langsung merasa nggak pede dan segera ngencengin pengikat tas itu supaya ga bikin polusi udara. Haha. Sesampe dirumah, aku dan Audrey ngobrol sepanjang malem tentang banyak hal. Mostly tentang relationship sih, walaupun kami berdua lagi sama-sama sendiri. But still, it's interesting to know other person's opinion tentang suatu hal. Jadinya kita ngobrol dan ngobrol, sampe Shawn, housemateku satunya, dateng and joined our conversation. Capek ngobrol, Audrey berinisiatif ngajak nonton Game of Thrones. Dia tanya terakhir aku nonton season 4 yang episode berapa. Aku bilang aku nggak inget. Kita langsung nyoba scrolling through the episodes dan aku pikir aku berhenti di Season 4 Episode 1. Akhirnya malem itu kami kelesotan di ruang tamu berbekal laptopku dan nonton serial yang selalu bikin para housemateku histeris ini.

Free salad dari manajemen apartemenku. We love free foods! :)))


Jumat, 19 Juni 2015

1. Window shopping di Broadway Shopping Centre dan Salvos

Siang hari itu Audrey dan Vanessa ngajak aku ke Broadway Shopping Centre buat ke Priceline dan Coles. Audrey bilang kalo setelah itu kita bisa ke Salvos atau The Salvation Army Store untuk ngecek baju-baju secondhand. Aku langsung setuju dan ikutan dua temen cewekku ini jalan kaki dari apartemen ke mall. Vanessa tanya apakah aku puasa hari ini. Aku jawab iya dan mereka balik tanya apakah aku sahur. Aku jawab lagi, "Nope. I didn't.""Oh, if I were you, I just couldn't do it (fasting)," kata Audrey. Vanessa menyetujui juga. Aku ketawa dan bilang kalo aku sering skip sahur, jadi nggak masalah buat aku.

Kami pun sampe juga ke mall itu dan toko yang pertama kami kunjungi ialah Rebel Sport. Begitu masuk ke toko olahraga tersebut, entah kenapa aku langsung ngebatin, "Kenapa yah aku nggak doyan olahraga?". Haha maksudnya, begitu liat baju-baju olahraga itu aku ngerasa biasa aja. Nggak yang antusias pengen ngeliatin bajunya satu-satu, cari yang didiskon dan yang terlucu, nggak sama sekali. Abisnya kalo aku amatin, sportswear sekarang makin lucu-lucu dan warna-warni. Kayaknya balik lagi juga ke tren jaman dulu dimana sportswear punya pattern yang lucu-lucu, cukup bikin yang make dan yang liat makin semangat *halah*. Jadinya aku hanya melenggang santai di toko itu sambil main hape, sementara Audrey dan Vanessa nyobain celana ketat untuk nge-gym gitu. Dalem ati aku ketawa sendiri liat diriku. Buat jogging aja dulu aku pake kaos kegedean, jumper kampus dan celana pendek tidur warna item. Boro-boro mau beli celana sporty nan gaul punya Nike yang harganya mayan banget, mending beli sneakers :p But I know, mungkin untuk orang lain hal kayak gitu itu termasuk preference dan kenyamanan mereka juga. So, fine-fine aja sih.

Kelar keluar masuk toko didalem Broadway Shopping Centre (aku cuma beli headwear dan anting berbentuk bulan sabit di Lovisa, mumpung diskon :p), aku dan Audrey menuju Salvos karena Vanessa harus nge-gym di daerah Glebe. Pas sampe di Salvos, aku langsung ke section outerwear dimana emang aku lagi butuh yang agak tebelan di musim dingin ini. Sayangnya, aku nggak nemu item yang cocok buat aku. Disamping ukurannya juga pada gede semua (nasib badan kecil dan pendek), aku juga kurang suka sama modelnya. Aku pikir daripada item itu bakal sering nggak aku pake, mending nggak aku beli. Kadang lucu gitu ngeliat gimana sekarang aku lebih 'mikir' kalo mau beli baju. Semakin bertambah umur, semakin aku ngerasa baju yang aku beli itu harus long last dan kalo bisa, bewarna gelap. Kalo dulu, aku doyan banget sama baju-baju yang berpattern rame dan kadang bewarna cukup bold dipadu aksesori yang mencolok. Sekarang? Rasanya aku lebih sederhana in terms of style. Contoh aja, sekarang kalo musim dingin gini, aku doyan pake legging item, baju longgaran yang nutupin bagian panggul kebawah, terus outerwear abu-abu oversized kesukaanku. Oh, plus sepatu Docmart atau Vans Oldskool favoritku. Minim warna dan minim hal yang mencolok. Aku jadi inget Tavi Gevinson, fashion blogger yang sekarang pindah profesi jadi editor-in-chief Rookie. Dulu perasaan doi style-nya aneh-aneh gitu, sekarang makin gede makin sederhana kalo aku perhatiin. Makin kayak 'layaknya orang biasa'. Kenapa yah begitu? I mean, kenapa semakin berumur kita semakin 'don't give a sh*t sama signature style kita'? Well, untuk beberapa orang sih mungkin hal ini nggak berlaku ya, seperti Diana Rikasari yang masih setia dengan gaya khasnya. Hm, yang jelas menarik juga kalo ditelusurin nih.

2. Dinner di Ramen Zundo dan dessert di Max Brenner Chocolate Bar (lagi)

Bingung mau buka puasa dimana, aku segera text Anty dan ngajak doi makan bareng. Pilihan kita jatuh pada "yang anget-anget" seperti Ramen. Seperti biasa, I have no idea tentang best places to eat di Sydney karena seperti yang aku bilang, makanan berasa "enak" dan "biasa" itu tipisss bedanya di lidahku. Menurutku sama aja dan syukur-syukur udah bisa makan, jadi aku semacem 'nggak tega' bilang "Ih, makanan ini nggak enak!", kecuali kalo emang rasanya ancur dan sampe bikin mau muntah ya (apa coba), hehe.

Akhirnya pilihan kita jatuh pada Ramen Ikkyu di Sussex Street. Sebelum jalan kesana, aku taruh dulu belanjaan makananku dari Coles di apartemen Anty. Pas sampe di Shopping Centre yang "menaungi" Ramen Ikkyu itu, aku baru nyadar kalo hapeku nggak ada. "Coba diinget-inget terakhir dimana. Apa mungkin di tas Platypus kamu?" kata Anty. Aku langsung inget shopping bag dari toko Platypus yang kugunakan buat ngebungkus belanjaan. Hm, mungkin kali ya. Pas pegang hape aku nggak sadar kalo hapenya 'nyemplung' di tas itu. Aku pun nggak ambil pusing dan ngajak Anty jalan terus ke tempat Ramennya. Sesampe disana, kita baru notice kalo ingredientsnya mengandung pork, jadinyalah kita memutuskan buat pindah tempat. Padahal penasaran sih rasanya gimana, abisnya reviewnya bagus sih :)

Yaudahlah, kami berdua finally ended up makan di Ramen Zundo, sebuah resto ramen di dalam World Square Shopping Centre. Pas baca menunya, kami bolak balik plin-plan akan makanan apa yang bakal kami order. Awalnya keukeuh banget 'kan pengen nyoba ramen ayamnya, terus pas liat menu udonnya yang lengkap sama ayam karage dan ayam teriyakinya... kami jadi makin bingung. "Ini kalo puasa gini bisa kayak pengen makan semuanya ya. Semuanya terlihat menarik," kata Anty sambil ketawa. Aku ikut nyengir menyetujui itu. Setelah makanan datang, kami sama-sama makan udon dengan lahapnya sampe aku nggak mampu ngabisin nasi di piringku. Abis banyak banget! Agak merasa bersalah sih, karena Papa selalu ngingetin kalo makan usahain 'bersih' dan habis semuanya. Iya juga sih, kalo nggak abis itu kesannya kayak nggak mensyukuri nikmat-Nya gitu yah, tapi gimana dong. Namanya juga kenyang banget. Selesai makan, aku dan Anty naik bis balik ke apartemen dan memutuskan untuk minum hot chocolate di Max Brenner Chocolate Bar, Central Park. Malam yang mengenyangkan!

Sabtu, 20 Juni 2015

Mengunjungi Open Marrickville dan dinner bareng housemate

Memasuki hari Sabtu, aku urungkan niatku ke Glebe Market karena cuaca yang nggak bersahabat. Aku pilih stay di rumah aja sampe jam setengah 5 sore, dimana aku mulai beranjak dari apartemen buat ke daerah Marrickville. Ya, Karina mengundangku dateng ke acara Open Marrickville, sebuah acara 10 hari yang menampilkan bakat dan kreativitas dari 57 budaya. Aku salut sih sama konsepnya, dimana dijelaskan kalo acara ini tuh "Share ideas, hospitality, understandings and the humanity connecting us all". Jadi menurut pemahamanku, Open Marrickville ini adalah cultural festival yang celebrating diversity, mengingat populasi para migrants di Australia yang "relatively large" dibanding "other Western nations". Contohnya mereka yang berasal dari Luxembourg, Israel, Switzerland, New Zealand, Canada, United States dan lain-lainnya. Jadi, mungkin Open Marrickville ini berguna untuk 'menaikkan' intercultural understanding kita terhadap budaya lain, dimana itu akan bikin kita semakin appreciate perbedaan tersebut dan respect sama mereka. Well, ini opiniku yah.

Anak-anak SD di Sydney menari Ratoh Duek dengan dipandu Suara Indonesia Dance Group.
Sepulang dari acara Open Marrickville, dimana aku ngeliat anak-anak SD performing tarian Randa dan Ratoh Duek yang berasal dari Aceh (keren!), aku menuju Pie Tin buat beli dinner. Sambil menahan hawa dingin, aku jalan cepet-cepet ke apartemen dan berkumpul sama Audrey, Vanessa, Peter, Shawn dan Andrew. Ceritanya Vanessa lagi masak pasta dan sup jamur, terus dia bilang kalo mungkin aku nggak bisa makan pastanya karena ngandung babi. Aku bilang it's okay karena aku punya pie gemuk didepanku, hehe. Akhirnya malem itu kita makan besar sampe masing-masing dari kami kekenyangan dan aku tidur cepet di jam 11 malem.

Maara dan Muura. Dua karakter yang kugambar dengan iseng di pagi hari.

Minggu, 21 Juni 2015

Thrifting di C's Flashback Secondhand Clothing dan Vinnies

Udah jadi rencanaku pagi itu buat ke toko secondhand demi mencari coat. Sebenernya lucu juga keputusanku itu kalo dipikir-pikir, abisnya aku sempet punya 'on and off relationship' sama barang-barang secondhand. Dulu taun 2008-2009 pas awal-awalnya aku aktif di Surabaya Fashion Carnival, aku gandrung banget sama namanya baju bekas. Sesekali aku ke kawasan Gembong, cari atasan-atasan oke dengan harga murah bareng temen atau cari sepatu boots bekas yang 'trendi'. Tapi memasuki taun 2010an, dimana brand-brand lokal mulai bermunculan dan kualitasnya bagus-bagus, aku mulai ninggalin kesukaanku terhadap secondhand stuffs. Perlahan aku mulai ngerasa semacem, "Mending beli baju dari brand ini aja. Selain karena kualitasnya bagus dan aku cocok sama brand personality-nya, itung-itung juga support karya bangsa sendiri 'kan.

Kebiasaan itu berlanjut sampe aku mulai pindah ke Sydney, dimana thrifting stores banyak banget di Newtown, suburb kediamanku. Aku perhatiin toko-toko secondhand ini punya barang berkualitas dan relatively quite large in terms of store size yah. Berarti 'kan cukup menghasilkan gitu yah bisnisnya. Sampe-sampe di suatu waktu aku ngobrol sama Lisa Heinze, seorang pecinta fashion dan environmentalist yang juga penulis buku "Sustainability with Style". Saat itu, aku mewawancarai beliau as part of my uni assignment dalam acara Clothes Swap di kampus. Dari interview dengan Lisa yang concern banget akan sustainable fashion, aku jadi terinspirasi untuk makin "considerate" sebelum membeli baju. Aku harus mikirin tentang keadaan dan kelangsungan pieces of clothing yang aku beli itu, kayak siapa yang ngeproduksi itu, apakah mereka di-treat secara fair dan aman, akankah baju ini bisa aku pake 5 taun berikutnya, apakah baju ini cukup mudah untuk di-mix and match dengan yang lainnya, dan apakah baju tersebut benar-benar merefleksikan siapa aku.

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menurutku perlu di-consider sebelum membeli pakaian. Udah aku jelaskan diatas juga 'kan kalo makin gede, aku makin merasa lebih nggak muluk-muluk tentang style. Yang penting nyaman, longlast, dan mudah dikombinasikan dengan baju lainnya. Jadinya aku mulai mempertimbangkan untuk mulai beli barang-barang secondhand lagi. Aku pikir-pikir nggak ada salahnya juga pake baju 'bekas orang', karena terkadang untuk beli baju baru itu kita semacem "support" (baca: ngasih duit) ke brand yang dimana kita nggak tau apakah mereka politically aligned sama kita. Maksudnya, apakah mereka punya work ethics yang bagus dimana para workers are being treated fairly in a safe condition, ataupun mungkin lebih simpel lagi, mereka punya value-value yang sesuai dengan karakter kita. Wih mayan berat dan serius ya. Tapi bener sih, sejak acara Clothes Swap yang merupakan bagian dari peringatan Fashion Revolution Day itu, aku jadi makin "aware" sama baju-baju yang aku beli. Walopun kadang aku nggak bo'ong juga kalo beli barang itu karena simply, they're cute and so gorgeous ya, but at least udah consider hal-hal yang selama ini sering kita ignore.

Anyway... akhirnya aku balik lagi suka barang-barang secondhand di Sydney. Abisnya mereka lebih unik, murah, dan itung-itung kita save environment juga 'kan karena termasuk berpatisipasi dalam 'recycling' process suatu baju itu. So, siang itu aku menuju C's Flashback Secondhand Clothing di 180 King St, Newtown. Pandanganku pertama tertuju pada sebuah dungaree lucu di etalase depan, tapi aku putuskan nggak beli itu karena inget umur dan emang bukan tujuanku kesana buat cari atasan itu. Aku cari coat, titik, gitu batinku sambil berusaha "menahan" godaan. Aku liat-liat denim jacket yang nangkring di salah satu part toko itu, but sayang nggak ada yang cocok sama aku warnanya dan mereka seemed too big for me. Maklum badan orang Asia yah. Aku pun menuju bagian belakang dimana coat-coat atau outerwear yang lebih tebel banyak bergelantungan. Pilihanku jatuh ke bomber jacket Tweety yang playful gitu. I'm not really a big fan of this character, but the jacket is uber cute. Tuh 'kan, susah juga buat bener-bener ngebalance pikiran-pikiran 'serius' diatas tadi sama alesan simpel namun powerful macem "because it's cute". Akhirnya aku beli deh jaket itu, itung-itung nanti kalo udah bosen, aku bisa kasih ke adekku :p

Kelar dari C's Flashback Secondhand Clothing, aku menuju Vinnies yang gak jauh dari situ. Karena hari Minggu, toko tersebut rame dan nggak kayak biasanya. Aku segera ke rak-rak outerwear yang ditaruh didepan dan menemukan two pieces of outerwears yang aku suka. Semuanya below AUD 25. Padahal salah satu baju merk itu kalo harga new bisa diatas AUD 50, so I considered myself lucky. Lagian baju-baju ini juga pas banget jatuhnya di badanku, nggak kegedean ataupun kesempitan. Warna gelap lagi. Pasti gampang buat di mix and match. Akhirnya sore itu aku pulang ke apartemen dengan hati puas. Hore!

June 22, 2015: On being neat, a student, sushi eater and karaoke singer

$
0
0
1. "Your room is so neat!"

Sore itu aku lagi baca berita di The Jakarta Post online saat Peter dan Vanessa masuk ke kamarku. "I wonder how your room could be so neat. It's so minimalist," kata Vanessa sambil memandangi kamarku. "I've got a lot of things in my room. I can't be this neat," lanjutnya. Denger dia ngomong gitu, aku memutar kursiku dan menatapnya dengan bingung. "Well, I don't know. I think it's just... you know, like my father always asks me to clean my room.""Like you always throw things out if you don't need it anymore?" tanya Vanessa. "Hm, not really," jawabku. Aku makin bingung mau jelasin kayak gimana, soalnya kedua orang tuaku emang concern banget sama kerapian dan kebersihan. Sejak kecil, aku selalu disuruh bersihin kamar sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Saking kebiasaan apa-apa sendiri, aku suka heran kalo liat temen yang dibantu 'asisten'nya pas bersihin kamar.

Pas udah gede gini, aku nyadar kalo aku makin jadi "neat-freak" layaknya Jerry Seinfeld yang selalu nata rapih cereal box-nya di laci. Aku suka gemes sendiri kalo liat sesuatu yang 'melenceng' dari tempatnya, out of order, ataupun nggak sejajar dengan barang di sebelahnya. Contoh kecilnya adalah merapikan letak botol toiletries di kamar mandi apartemen. Karena kamar mandi ini dipake sama 4 orang sekaligus, otomatis botol-botol kami nggak muat ditaruh di rak kecil yang udah disediain sama manajemen. Kami cuma bisa naruh 'gitu aja' di lantai shower box. Anehnya, aku suka merasa 'tergelitik' kalo misal botol-botolnya nggak berbaris rapi gitu. Langsung deh aku tata lagi letaknya sampe terlihat sejajar satu sama lain.

Same thing happens saat aku ngeliat dapur apartemen yang 'rentan' berantakan. Namanya orang yah, kadang males gitu 'kan naruh piring-piring yang abis dicuci di tempatnya lagi. Apalagi kalo lagi sibuk (ato sengaja sibuk?), pasti nggak sempet lah ambil piring satu, ngelap sisa-sisa basuhannya, buka laci, terus make sure supaya piringnya nggak 'tabrakan' sama sebelahnya. Gara-gara suka nggak tahan liat tumpukan peralatan makan yang udah kayak gunung, aku suka voluntarily ngerapihin itu. Saat housemateku noticed itu, mereka bilang, "Thanks for doing that." Lucu ya kalo dipikir. Sebegitu suka rapinya sampe-sampe temen di Indonesia nyebut aku "Kiza anak simetris".......

2. "Wait, you had 12 subjects in one semester?"

Sambil nunggu jarum jam nunjukin pukul 18.30, aku ngobrol sama Peter yang lagi tengkurep santai di kamarku. Dia lagi ngecek nilai mata kuliahnya di hape dan tanya, "Were you doing good in your bachelor's degree?". Aku muter mata. "Hm....yeah, I could say that.""Did you get mostly A?" tanya Peter lagi. "Well, yeah... but I got B too. You know, it wasn't that hard," kataku setelah bikin perbandingan super kilat antara bobot kuliah S1 dan S2-ku. Air muka Peter mulai berubah, dia jadi penasaran. "How many subjects did you take in one semester?" tanyanya. "Twelve...?" aku segera menambahkan sebelum Peter loncat terkaget-kaget. "It's because one subject equals to two credits and I had to take at least 24 credits in one semester. So, yeah, I had twelve subjects."

Peter makin penasaran. "Twelve subjects! You seemed to make it pretty easy. Oh, I shouldn't have been whining about my results." katanya sambil mendengus lemes. Aku ketawa dan menjelaskan kalo hal itu normal terjadi di Indonesia. Nggak sebanding sama anak-anak S1 sini yang ambil 4 mata kuliah dengan bobot 6 sks setiap subject. "But how could you make it fair?" Peter terlihat masih bingung. "Okay, so you guys are taking four subjects in a semester. One subject equals to 6 credits. For us, 6 credits are like... you're writing a thesis," jelasku. Aku harap Peter ngerti gimana 'overwhelming'nya dapet 4 mata kuliah dimana bobot satu matkul itu udah kayak skripsi. "Oh, okay. Yeah, yeah." Peter mengangguk mengerti. Aku jelasin lagi kalo murid-murid di Indonesia itu kayaknya kebanyakan ambil (atau harus ambil) subjects pas sekolah, yang akibatnya bikin kita kurang fokus. Peter pun lanjut mengangguk dan aku pamit pergi ke City.

3. 14 plates of sushi dan karaoke lagu "Surti Tejo" di Sydney!

Aku sampai di mall The Galeries jam 7 malem. Limabelas menit lebih awal dari waktu janjianku, Anty dan Karina. Yup, malem itu aku akan mentraktir mereka makan sebagai perayaan ulang tahunku. Pilihan kami jatuh di Sushi Hotaru yang terletak di Level 1. Sesampai disana, kami masuk dalam Waiting List karena banyaknya orang yang mau dinner disitu. Setelah nunggu belasan menit, aku, Anty dan Karina masuk dan duduk di meja sempit yang dilengkapi dengan iPad. Aku sempet berdecak kagum ala "ndeso" gitu pas liat. I mean, sebegitu "bondo"-nya restoran ini sampe naruh iPad di setiap meja sebagai alat penampil menu, pemesan makanan/minuman, dan pemanggil waiter. Maklum nggak pernah liat begituan di Surabaya. Apa udah mulai ada yah sekarang? Entahlah.

Layaknya orang abis puasa, semua piring yang berjejer di sushi bar itu terlihat menarik. Bolak balik aku menggumam, "Hm, ini enak. Eh, tapi yang itu keliatan lebih enak. Eh, yang mana yah?" Bingung sendiri deh. Tapi akhirnya kami bertiga ambil aja yang menarik mata semacem sashimi dan sushi-sushi yang mengandung ikan-ikanan, ayam dan keju. Kami juga memesan wagyu beef omelette yang enak banget. Sampe-sampe nggak kerasa kami udah abis 14 piring aja. Sangat kenyaaaang. Terus Anty nyeletuk, "Eh, ini masih kalah sama yang waktu itu kita makan bareng Audrey. 18 piring buat tiga orang." Aku ketawa mengingat ke'kalap'an kami pas di Sushi Rio. Kami menghabiskan sushi 18 piring, yang berarti 1 orang rata-rata makan 6 piring. Mungkin nggak ada apa-apanya sih ya kalo emang ada yang bisa sampe 10 piring dalam sehari. But still, we ate a lot that time.

Itu lho iPadnya.... *salahfokus*
(Foto: Karina)
Siap makan!
(Foto: Karina)
oops.

"Gimana kalo abis ini kita karaoke?" tiba-tiba Karina mengerlingkan matanya ke arah aku dan Anty. Kami segera menyambut ajakannya dengan antusias. Kelar membayar bill, kami bertiga jalan kaki menuju Bathurst Street dan masuk kedalam sebuah bangunan, yang ternyata adalah Big Echo Karaoke Box. Terlihat sepi dan nggak ada siapa-siapa didalam. Aku sempet nggak percaya itu tempat karaoke sih, abisnya dari luar terlihat strange...hm gimana yah, susah mendeskripsikannya. Remang-remang dan ditemani suara dari TV besar yang nampilin music video seorang Korean pop singer. Kami jalan lurus melewati koridor dan mataku 'menangkap' sebuah floor lamp berbentuk anjing hitam unik di sisi kanan. "Lucu sekali!" batinku. Aku langsung membayangkan gimana kalo rumahku nanti punya begituan.

Ketika sampai di meja resepsionis, kami disambut oleh banyaknya poster bertuliskan informasi dalam bahasa Mandarin. Disitu pun juga terdapat free magazines dengan cover wanita muda Asia yang berkulit putih kinclong, mata kecil, rambut diwarnai cokelat kemerahan plus senyum lebarnya. Aku jadi inget suatu majalah di Surabaya yang punya cover seperti itu. Sambil memandangi keadaan sekitar, aku nggak sadar kalo ada orang yang berdiri dibelakang rak majalah. Sepertinya doi security gitu, karena pake baju bernuansa kuning neon dan raut mukanya serius. Dia bilang yang in-charge akan datang sebentar lagi. Kami pun mengangguk dan melenggang awkward di sekitar situ.

Beberapa menit kemudian, seorang lelaki berparas Chinese datang. Keliatannya dia abis serving drinks ke guests yang ada di tempat karaoke itu. Karina tanya masih ada room yang available nggak. Dia bilang masih. Oke kami keluarin duit AUD 12 dari dompet dan membayar room fee-nya. Laki-laki itu pun bergerak keluar dari bilik mejanya dan memberi aba-aba semacam "Follow me". Dia juga mengisyaratkan kalo kita dapet free drink dari vending machine disana. Setelah memilih minuman, aku, Anty dan Karina menuju ruangan yang ditunjuk mas-mas tadi, yaitu ruangan bernomor 20. Pas dibuka, kami takjub ngeliat how big the room was. Terlalu besar untuk kami yang cuma bertiga. Kayaknya muat sampe belasan orang deh, batinku begitu.

It's been a while sejak terakhir aku pergi karaoke. Kayaknya terakhir taun 2009 deh pas sama temen-temen les bahasa Inggris. Astaga hampir 6 taun lalu! Lama juga yah. Selain karena sadar diri gara-gara suara ini tipenya "penyet", aku juga bukan tipe orang yang doyan nyanyi, even di dalam kamar mandi. Aku lebih jadi yang dengerin, mencermati liriknya, terus syukur-syukur kalo bisa mainin itu di piano. Itupun kalo lagi mood dan niat banget. Anyway, so here we are. Di sebuah ruangan karaoke gelap yang menyediakan 2 wireless mic dan 2 mic berkabel. Satu TV besar dan satu screen navigasi. How I miss being in a karaoke room! Kayaknya hal yang sama juga dirasain Anty dan Karina deh. Karina langsung semangat gitu milih-milih lagunya di pojokan ruangan.

Aku lupa lagu pertama kami apa saat itu. Yang jelas aku surprised ketika mereka punya stok lagu Indonesia, contohnya punya Jamrud, Sheila On 7, Dewa, Project Pop, Ada Band, Maliq and D'Essentials sampe Tulus dan Raisa. Yang lebih hilariousnya lagi, mereka nyisipin video binatang-binatang lalu lalang di Taman Safari saat lagu "Pupus" nya Dewa yang haru biru itu! Sumpah deh, saat itu bikin ngakak banget. Mana sempet ada scene dimana muka unta di close up banget pas lirik lagi 'dalem-dalem'nya. Ngajak becanda banget pokoknya.

Karya Karina! :))))
#eaaaa
Kusadari cintaku pada..... unta?
Jauh-jauh ke negeri seberang cuma buat nyanyi "Surti Tejo", haha. Anyway, foto ini juga udah aku upload di Path dengan caption yang sama.
Nggak kerasa tiba-tiba udah jam 12 malem. Lagu "F For You" dari Disclosure ft. Mary J Blige masih mengalun. "I've been infected with restless whispers and cheats / That manifested in words and lies in your speak...". Begitu terus sampe layar karaoke dinonaktifkan. Kami tersenyum puas dan segera bersiap untuk pulang. Ah, malam yang menyegarkan!

Cewek nggak bisa liat kaca toilet nganggur :p
(Foto: Karina)

Doodle yang aku buat saat nggak bisa tidur. Waktu itu lagi dengerin Björk yang album Volta. Tepatnya pas lagu "The Dull Flame of Desire".

22.00 - 3.00

$
0
0
Kamis, 25 Juni 2015, pukul 22.00, kamar apartemen.

Kedua mataku semakin memberat. Mungkin efek 2 tablet flu yang kuminum setelah makan malem. Maklum, aku paling terganggu sama hidung yang berair. Inginnya cepat-cepat bugar dan bisa beraktivitas dengan lancar.

Pelan-pelan kupejamkan mata. Mencoba merilekskan pikiran dan badan. Cukup susah, mengingat pukul 6 pagi aku harus meninggalkan rumah. Kalau tidak, bisa ketinggalan bis ke Canberra. Ya, weekend ini aku akan menghabiskan waktu di ibukota Australia tersebut. Menemui pakde dan bude sebelum mereka mudik ke Indonesia. Sekaligus jalan-jalan dan 'istirahat' dari kota Sydney yang buzzing.

Drrrrtt....drrrtt..... Suara fan dari heater menemani detik-detik sebelum aku terlelap. Badanku menghangat. Aku gelisah. Masa harus mandi lagi sih, tanyaku pada diri sendiri. Kuturunkan selimut dari leher ke pinggang, sehingga bahu dan dada bisa merasakan angin dingin. Tok, tok, tok...! "Kiza!". Tok, tok, tok...! "Kiza!". Tiba-tiba seseorang mengetok pintu kamar dan memanggil namaku dari luar. Suaranya cukup familiar. Kedengarannya seperti Audrey.

Kuputuskan untuk membuka mata. Aneh, aku belum juga se-ngantuk itu. Aku pun beranjak dari tempat tidur, menarik jaket dari kursi meja belajar, lalu kupakai cepat-cepat. Jeglek! Kubuka pintu kamarku. Ternyata Laura, housemateku dari negara China, sudah berdiri didepan dengan sebuah mangkuk kecil. "Oh, sorry, you're already sleeping!" katanya sambil terkejut ketika melihat lampu kamarku yang remang-remang. "No, no, it's okay. Yeah, I just took a medicine." jawabku sambil nyengir. "Here, I made a dessert for you. You can eat it when it's cooler," dia menyerahkan mangkuk yang berisi manisan bewarna kuning dan rumput laut itu. "Oh, wow. Thank you so much, Laura!" kuterima mangkuk itu dan Laura berbalik menuju kamarnya.

Jeglek! Kututup pintu kamar. Soswit sekali sih housemate-housemateku ini. Sukanya share makanan. Bisa dibilang enak lagi. Ah, beruntungnya aku tinggal di rumah ini, batinku. Kuletakkan mangkuk hangat itu di pinggir meja belajar dan bersiap untuk tidur lagi. Sayup-sayup terdengar suara Nehan, teman kami yang tinggal di sebelah apartemen, dan riuh suara piring dan sendok dari bawah. Mungkin mereka lagi late dinner dan bersiap akan nonton film malem ini. Kuambil hapeku, kubuka group chat Facebook dan minta maaf kalo nggak bisa gabung. Kubilang aku harus tidur lebih awal, berangkat pagi keesokan harinya, dan film pilihan mereka, "Let's Be Cops", itu hilarious.

Kuletakkan hapeku lagi di sebelah bantal. Aku harap suara alarm bisa terdengar lebih nyaring. Sebelum benar-benar memejamkan mata, kusugesti terus diri ini supaya besok bisa bangun pagi. Kalau tidak, mungkin aku akan "bablas" sampe jam 8 pagi. Kutarik lagi selimutku sampai ke pinggang. Tubuh ini masih hangat. Ah, ya sudahlah. Yang penting sekarang harus tidur. Tidur dan tidur....

Jumat, 26 Juni 2015, pukul 03.00, kamar apartemen.

Mendadak kubuka mata. Ah, masih jam 3 pagi, batinku ketika melihat jam di meja belajar. Kuambil hape dan memastikan alarm masih terpasang. Masih ada 2 jam lagi sebelum kuputuskan benar-benar bangun. Tidur lagi aja deh. Aku taruh hape itu disamping bantal dan membenarkan posisi tidurku. Kupejamkan mata, mencoba terlelap lagi. Semakin susah. Aku semakin gelisah. Takut tidak bisa bangun pagi.


Kubuka lagi mataku dan kuputuskan untuk bangun. Mungkin sebaiknya sahur aja, kataku sambil melihat kotak kecil yang berisi kue Babka kemarin. Aku berdiri, kupakai jaketku dan meraih kotak tersebut. Dengan lampu yang masih remang-remang, kunikmati dini hari ini dengan manisnya kue Babka yang kubeli dari Shenkin Cafe. Enak sekali. Rasanya pengen setiap hari makan ini.

Nyam, nyam, nyam. Kutelan rempahan kue terakhir itu. Ah, rasanya masih kurang. Aku butuh banyak tenaga besok. Kalau tidak, rencanaku jalan kaki mengitari kota Canberra bisa gagal. Kuputuskan turun untuk mengambil potongan donat dan buah lemon dibawah. Aku harus mulai rajin minum honey lemon lagi. Tanpa diundang, tiba-tiba niat itu datang ketika aku akan membuka pintu. Yuk, mari kita sahur....

 

Full stop.

$
0
0
"Some music is meant to be listened when you are on your own, either because it's so uncool that it's liable to provoke unwanted comment, or because it makes you think about things you don't want to talk about, things that scare you." - Pitchfork

'Sekarang'

$
0
0

Please don't flow so fast
You little mountain hum
I'll take a bottle down to you

Please don't flow this fast
You hold a little hum
I'll bottle sounds of me for you

Please don't flow so fast
You little mountain din
I'll bottle piano sounds from you

Please don't flow so fast
You little mountain noise
I'll close my eyes and bite your tongue

(múm - We Have A Map Of The Piano)

-----------------------------------------------------------------------

Di masa sekarang ketika informasi mengalir deras, kami manusia semakin terpacu untuk bergerak cepat. Cepat dalam berpikir, bertindak, dan berkegiatan. Harus berlari kalau tidak mau ketinggalan. Harus selalu awas dengan keadaan sekitar. Harus bersikap sigap dan tepat.

Namun karena ritme yang cepat itu, kami manusia kadang lupa untuk menikmati 'Sekarang'. Sebuah konsep masa yang dibatasi 'lalu' dan 'esok'. Sebuah konsep masa yang berdiri sendiri, walaupun pada akhirnya akan melangkahi batas-batas 'lalu' dan 'esok'. Semua berhubungan. Semua terikat dan dipayungi oleh sang Waktu.

'Sekarang' ialah sekarang. Bukan lalu atau esok. Akankah kami manusia bisa tak berjalan terlalu cepat? Sederhananya, biar kami bisa terlena dalam masa 'Sekarang'. 'Sekarang' yang nikmat. Yang murni. Penuh hal baru dan menggelitik.

Andai jari telunjuk kami mampu memilih suatu bagian waktu yang kerap berputar. Perlambat dan berhentikan arusnya. Memilih masa 'Sekarang' dan lupakan yang 'Lalu' ataupun 'Esok'. Tenggelam, terbuai dan terlempar-lempar dalam godaannya. Pikiran, jiwa, tubuh... semua milik 'Sekarang'.

Karena 'Sekarang', kami manusia bisa pahami 'Lalu' atau 'Esok'. Karena 'Sekarang', kami bisa menyayangi Waktu. Karena 'Sekarang', kami bisa temukan arah dan tujuan.

'Sekarang', ya 'Sekarang'. Abadikanlah untuk sementara. Janganlah cepat jadi 'Lalu' atau 'Esok', karena kami manusia sebenarnya bukan apa-apa. Kami ini sesungguhnya kecil. Diantara kemungkinan-kemungkinan di dunia yang melimpah ruah. Yang sebenarnya bergerak bebas; namun pada kenyataannya, kami manusia lah yang menciptakan batas-batas itu sendiri.

Jadi, apa yang harus kami lakukan pada 'Sekarang'? Agar ia kekal dan tak tergilas oleh Waktu?

Mungkin jawaban praktisnya ialah dengan bersyukur. Nikmati apa yang ada sekarang dan rengkuh kenyataan-kenyataan yang terjadi. Rayakan dan bersemangat. Sikapi dengan positif takdir yang dipilih. Mungkin itu bisa buahkan mimpi baru. Mungkin.

Walaupun kerap tidak semudah itu untuk benar-benar 'hidup' di dimensi 'Sekarang'. Akan banyak selentingan-selentingan keruh yang sangat 'memancing', merangsang dan menggetarkan determinasi. Sehingga lagi-lagi kami manusia dipengaruhi 'Lalu' atau 'Esok'. Tidak santai dan akibatnya berjalan terlalu cepat kembali.

Paling tidak dengan berpikir saat ini, kami sudah mempertimbangkan 'Sekarang'. Kami sadar ia 'ada' dan kami sadar ia tidak terus 'ada'.

Paling tidak kami juga paham bahwa 'Sekarang' adalah nikmat. Yang semestinya akan lebih indah jika dibekukan dan diawetkan. Mengikuti sikap dasar kami yang rakus dan penuh nafsu. Mengikuti pikiran-pikiran liar kami, mimpi-mimpi tak berujung kami...

Choosing choice

$
0
0
Tulisan ini dibuat karena saya terinpirasi dengan kejadian beberapa hari lalu. Kemaren-kemaren saya sempet ngalamin anxiety berlebih. Saya susah konsentrasi, nggak bisa duduk lama di suatu tempat, nafsu makan meningkat, gelisah, nggak tenang, nggak fokus dan insecure. Rasanya negatif pokoknya. Sampe akhirnya saya pusing, cape badan dan males ngapa-ngapain. Essay kuliah saya juga sempet terlantar. Saya bingung banget.

Karena merasa nggak bisa beraktivitas and it frustrated me, saya nyoba cari tau penyebabnya. Saya browse informasi di Internet (haha), katanya sih itu bagian dari depresi. Saya nggak setuju, karena saya ngerasa sehat dan baik baik aja. Saya pikir lagi... saya pikir lagi kenapa bisa se-anxious ini. Apa karena kopi yang saya minum hampir tiap hari? Apa karena saya "highly sensitive person"? Apa karena saya panik tugas kuliahnya nggak kelar-kelar padahal udah deket deadline? Yang terakhir cukup memungkinkan sih. Tapi biasanya saya juga nggak pernah sampe se-anxious ini menjelang deadline.

Akhirnya setelah mikir lama, saya semacem nemuin jawabannya. I blame it on the choices that are available to me. Yeah, choices. Pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, kesempatan-kesempatan yang tersedia diluar sana. Mungkin seperti precious things yang lagi beterbangan kesana kemari, gerakannya halus seperti ditiup angin semilir dan menunggu buat ditangkap. Tapi sekalinya ditangkap, mata kita tergiur dengan yang lainnya. Kita jadi merasa yang kita tangkap itu nggak se-precious itu, nggak sebernilai itu. Karena kita tau kalau masih ada yang lain, yang bagus yang beterbangan bebas, nggak berpemilik, kita jadi mikir, "Beneran sebagus itu nggak sih yang kutangkep ini?". Akhirnya kita mulai gelisah. Kita gigit bibir, ketuk-ketukin jari di meja, gerak-gerakin kaki. Kita nggak tenang. Kita mulai nggak yakin sama pilihan kita.

Itulah yang saya rasain ketika lagi anxious kemaren. Saya merasa kebanyakan mikir "What if..." setelah mutusin buat memilih sesuatu. Saya merasa pilihan saya itu bukan yang terbaik, karena saya tau ada kemungkinan-kemungkinan lain yang available di sekitar. Saya takut pilihan itu nggak menguntungkan. Saya cemas kalau pilihan itu bakal mengecewakan. Saya nggak mau rugi. Tapi memang benar, pilihan lain itu terlihat, terdengar dan terasa lebih... menggiurkan. Pikiran saya langsung meraba jauh ke masa depan. Otak saya langsung menggambarkan adegan yang lebih menyenangkan. Saya nggak mau salah pilih. Kemungkinan/pilihan/kesempatan lain itu emang terlihat lebih 'hijau'. Ada apa dengan saya? Mengapa saya terdengar sangat membingungkan?

Saya pun berpikir lagi. Apa yang menyebabkan saya jadi overwhelmed seperti ini? Masa sih karena ada banyak kemungkinan/pilihan/kesempatan di sekitar saya? Yang beterbangan bebas diluar kotak pemikiran saya? Mengapa saya nggak gampang puas? Mengapa saya selalu ingin lebih? Contoh simpelnya bisa dilihat saat saya menulis essay untuk kuliah. Bisa dibilang proses menulis saya ini lama, karena setiap kata itu saya pikirin banget; kalau bisa sih itu kata ter-perfect yang bisa saya buat. Kata terbagus yang saya hasilkan dengan kemampuan maksimal dan waktu yang tersedia juga. Makanya, dari satu kalimat ke kalimat lain aja pindahnya lama. Sampe-sampe satu jam mungkin baru bisa bikin 100 kata. Kadang saya sampe pusing sendiri gara-gara nggak bisa gerak cepet. Well, saya cukup paham bahwa mungkin ada faktor bahasa dibelakangnya. Menulis dalam bahasa yang bukan bahasa native kita memang gak gampang. Apalagi bisa dibilang saya baru aktif(?) menulis bahasa Inggris pas kuliah S1, gara-garanya kuliahnya emang di jurusan Sastra Inggris. Tapi tetep aja. Yang namanya menulis bagus emang butuh proses. Nggak bisa langsung nulis sekali terus langsung bagus, mencengangkan dan menggugah. Kecuali kita emang kayak those great novelists, poets or journalists.

Baiklah, pertanyaan-pertanyaan sebelumnya itulah yang bikin saya makin gelisah. Kenapa dengan adanya banyak pilihan, saya jadi makin bingung? Bukankah seharusnya saya bersyukur karena berarti itu saya tinggal pilih sesuka hati? Bukankah seharusnya lebih mudah untuk menentukan mana yang lebih baik? Saya jadi kesel. Pikiran-pikiran saya bercabang seperti batang-batang pohon cantik dan meliuk-liuk tak berdaun yang jadi favorit saya. Udah nemu satu jawaban dari pertanyaan kenapa saya anxious, eh kenapa si otak langsung lompat dan hinggap di subject lain. Bikin saya jadi harus mikir, mikir dan mikir. Nggak tenang. Gelisah terus. Bertanya-tanya...

***

Tulisan ini dibuat karena saya lagi penasaran sama konsep "pilihan", yang menurut saya sampe bikin anxious beberapa hari. Setelah mikir lama, saya bikin kesimpulan sendiri kalo anxiety itu datang karena saya merasa terlalu punya banyak pilihan. Well, "banyak" atau enggak sebenarnya relatif juga, karena itu juga tergantung situasi. Kalau situasi mendukung dan resourcesnya tersedia, maka pilihan akan semakin banyak. Kalau situasi nggak mendukung dan resourcesnya terbatas, kita tau, pilihan nggak akan sebanyak itu. Untuk kasus saya, resources ini berarti informasi. Informasi yang saya dapet dari perkuliahan tiap Selasa-Kamis-Jumat, news organisation yang saya follow di Twitter dan Instagram, novel fiksi dan majalah lifestyle yang saya baca, orang-orang asing yang berpapasan dengan saya, individu-individu menarik yang berinteraksi dengan saya ... beragam sumber. Setiap sumber menyajikan informasi dengan versinya sendiri. Setiap sumber punya versi kebenarannya sendiri. Setiap sumber berhak 'masuk' ke kotak pemikiran seseorang, asalkan ia mampu membuka lebar penutup atasnya dan membuang mana yang unnecessary lewat penutup bawahnya. Tetap pada batasnya, tetap pada kotaknya. Tetap pada prinsip dan pendiriannya.

Kita emang nggak akan pernah tau kapan otak ini bakal berhenti berpikir. Berhenti berpikir artinya mati 'kan? Otak nggak bekerja lagi, kita nggak bisa bernafas lagi alias diambil Tuhan. Makanya di satu sisi, saya nyoba memaklumin kenapa saya nggak berhenti berpikir dan bertanya. Itu berarti tandanya otak saya masih bekerja. Saya masih hidup. Saya masih harus berhadapan dengan pilihan. Saya masih harus bisa menimang mana yang baik, mana yang enggak. Akan tetapi, baik atau enggaknya pun juga relatif. Bisa baik untuk saya dalam satu dimensi waktu itu, tapi bisa nggak baik untuk saya di satu bulan kedepan. Bisa terdengar hampir sempurna bagi saya seorang, tapi bisa jadi disaster buat orang lain. Semua tergantung dari kacamata yang kita pake sih. Kalo lensanya item, penglihatan kita jadi warna item ato kecokelatan. Kalo lensanya kebiruan, ya jadi ikut biru. Intinya tentang gimana kita 'framing' pemikiran itu sih.

Eh, tapi jangan lupa juga kalau manusia punya perasaan. Sebagai seseorang dengan (kecondongan) tipe kepribadian INFP, titik berat saya ada di bagian feeling. Jadi saya lebih interest dengan hal-hal yang berhubungan dengan feeling (jangan ketawa yah). Akhirnya, I was drawn into this TED Talk yang membahas tentang pilihan. Ya, pencarian saya tentang konsep "Choice" belum berakhir. Kesimpulan saya tentang "banyak pilihan mengakibatkan anxiety" juga belum bisa saya ketok palu. Saya masih open buat ide lain yang mendukung atau bahkan mengkritik habis-habisan kesimpulan itu.

Pada taun 2005, seorang psikolog Amerika bernama Barry Schwartz berbicara di suatu sesi TED Talk berjudul "The Paradox of Choice". Judul itu sebenarnya adalah judul buku yang ia rilis tahun 2004 tentang salah satu misteri di kehidupan modern. Misteri itu adalah .... ehm, ini saya translate dan kutip dari halaman website TED ya: "Mengapa masyarakat yang berkelimpahan, dimana individu-individunya yang diberi lebih banyak kebebasan dan pilihan (personal, professional, material) dibanding dulu - mengalami semacam 'near-epidemic of depression'?". Pertanyaan ini menarik sih bagi saya. Walaupun udah 15 tahun lewat, saya rasa pertanyaan itu masih relevan untuk masa sekarang. Saya langsung ngehubungin kondisi masyarakat yang makin berhubungan erat sama teknologi, particularly online media. Karena ada online media, informasi yang kita terima makin berlimpah, makin bermacam-macam, makin dimensional - entah luas atau sempit, makin berkaitan erat dengan waktu. Akhirnya dengan segala kemampuan yang kita miliki untuk mengakses informasi, pilihan kita makin banyak.

Ada kemungkinan kita jadi makin bimbang dan anxious, karena ide yang kita rengkuh selama ini digoyahkan dengan ide baru. Ide kita yang lama dikontradiksi oleh sesuatu yang terlihat lebih 'fresh'. Sesuatu yang terlihat kontras dan timely, seiring perubahan jaman. Ide baru itu menandakan kesempatan. Ide baru itu menandakan lahirnya pilihan baru.

Tentunya pilihan ini berhubungan oleh kebebasan kita sebagai individu untuk memilih. Nah, ketika kita bicara "kebebasan", seakan-akan punya banyak pilihan itu adalah hal yang menyenangkan. Menyenangkan dalam arti 'banyak pilihan artinya seseorang makin bebas memilih', seperti apa yang saya bilang sebelumnya. 'Bebas' disini, semiotically, berkonotasi positif layaknya bebas, lepas, dan (merdeka?). Namun kenyataannya, nggak selamanya kayak gitu. Dalam TED Talk ini, Schwartz mengemukakan kalo banyak pilihan kadang justru bisa bikin kita "paralysed", bukan malah merasa "bebas". Dia bilang, "With so many options to choose from, people find it difficult to choose at all." Ya, saya setuju sih sama statement beliau. Dengan adanya banyak pilihan, saya malah merasa makin 'paralysed' atau 'kaku' - nggak mampu bergerak, nggak mampu memilih sama sekali. Kaget. Overwhelmed. Bingung dengan segala kemungkinan yang ada. Terbuai dahulu dengan ramalan hasil yang terlintas di otak. Menggigil dahulu dengan resiko semu yang merangsang perasaan. We just cannot move at all.

Schwartz pun berkata lagi, "...even if we manage to overcome the paralysis and make a choice, we end up less satisfied with the result of the choice than we would be if we had fewer options to choose from." Yup, saya setuju juga. Bahkan saat kita mampu mengatasi "paralysis" itu dan membuat keputusan, seringkali kita merasa kurang puas dengan hasil dari pilihan itu. Saya nggak tau hal ini berlaku apa enggak untuk yang lainnya ketika saya menyebut 'kita', tapi saya yakin iya sih. Keadaan ini saya sebut dengan "regret" atau penyesalan, dimana udah dibahas sama Schwartz juga pas ia ngejelasin efek kedua akan "pilihan". Dia bilang, "The more options there are, the easier it is to regret anything at all that is disappointing about the option that you chose." Menurut dia, hal itu terjadi karena "...it's easy to imagine you could have made a different choice that would have been better." Ketika kita berpikir bahwa "ini akan menjadi lebih baik" kalau kita memilih pilihan lain itu, kita akan menarik pemikiran dan perasaan sesal yang akhirnya nggak bikin kita puas. Merasa nggak puas berarti merasa kurang. Otak kita langsung lompat lagi ke subject lainnya, berusaha cari sesuatu yang bikin kita puas. Tapi namanya manusia yah, kita ini rakus juga. Susah untuk merasa puas, karena pilihan-pilihan yang terbentang luas itu. Pilihan-pilihan yang tersedia untuk kita, pilihan-pilihan yang berada di luar kotak pemikiran kita.

Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk memilih lebih baik? Schwartz menutup presentasinya dengan ilustrasi menarik. Ia memperlihatkan sebuah gambar fishbowl dengan ikan didalamnya. Menurut saya, itu adalah analoginya tentang apa yang saya sebut 'kotak pemikiran' kita. Yang menurutnya "impoverished imagination, a myopic view of the world", karena si ikan seakan-akan nggak tau apa yang terjadi diluar fishbowl itu. Si ikan nggak tau bagaimana kehidupan di lautan luas sana (well, just assume they don't know anything first). Kalau kita mecahin fishbowlnya, everything is possible buat si ikan, buat kita - kasarannya. Semua jadi mungkin karena si ikan nggak punya batas lagi, jadi dia bisa melihat kehidupan diluar fishbowl itu. Tapi perlahan, si ikan malah jadi klepek-klepek karena kekurangan air 'kan? That's what Schwartz called by 'paralysis'. Dia bilang, "Because the truth of the matter is that if you shatter the fishbowl so that everything is possible, you don't have freedom. You have paralysis. If you shatter this fishbowl so that everything is possible, you decrease satisfaction. You increase paralysis, and you decrease satisfaction."

Dari statement diatas, saya nyadarin kalau kadang kita perlu 'kotak pemikiran' juga, walaupun we are being bombarded by the notion 'oh, you have to be open minded' - things like that - karena ketika kita buka kotak pemikiran itu, segala ide akan masuk. Kemungkinan/pilihan/kesempatan akan masuk. Kita bisa overwhelmed. Kita bisa paralysed. Satisfaction kita menurun karena kita nggak tau 'mana yang bagus diantara yang bagus' itu semua, karena expectation kita biasanya mengarah ke satu hal yang ideal. Ketika dihadapkan dengan banyak kemungkinan ideal, kita jadi bingung banget dan malah nggak mampu memilih. Kalaupun memilih, kita cenderung gak bisa se-satisfied itu sama pilihan kita - entah pada saat itu juga atau kedepannya - karena kita tau sebenernya ADA pilihan lain yang lebih bagus. Hehe kompleks ya.



"Everybody needs a fishbowl. This one is almost certainly too limited -- perhaps even for the fish, certainly for us. But the absence of some metaphorical fishbowl is a recipe for misery, and, I suspect, disaster." - Barry Schwartz

Saya pilih statement Schwartz di menit 19:12 buat nutup tulisan ini. Yup, saya setuju sama dia. Ketika kita nggak punya fishbowl atau 'kotak pemikiran', kita nggak punya filter buat diri sendiri. 'Batas' kita ilang, karena fishbowl itu basically dibuat biar kita punya 'batas' dan nggak kemana-mana. Maksudnya, saat dihadapkan sama pilihan, kita nggak akan bingung-bingung lagi atau tergiur dengan pilihan-pilihan yang masih berterbangan bebas diluar sana. Kasarannya kita udah punya prinsip. Kita tau apa yang kita mau, jadi kita nge-filter pilihan/kemungkinan/kesempatan yang bisa bantu buat ngewujudin apa yang kita mau itu. Biar nantinya kita juga nggak akan nyesel sudah memilih pilihan itu, karena kita seakan-akan 'nggak tau' kalau those choices/possibilities/opportunities are exist.

I'm not saying kalau kita harus menutup diri sama semua kemungkinan yang ada. Nggak. Bukan itu. Malah nggak boleh kalau kita bener-bener menutup diri. What I'm saying is that, mungkin ada baiknya kita selalu nimbulin rasa 'cukup' dari diri sendiri. Merasa cukup bukan berarti kalah. Merasa cukup bukan berarti nggak mau berusaha lagi kedepannya. Bukan berarti berhenti dan nggak ambisius. Karena dari ngerasa cukup itu, kita semacem 'menenangkan diri' dari informasi yang berlimpahan dan masuk ke indera-indera kita. Kita nggak overwhelmed lagi sama banyaknya pilihan/kemungkinan/kesempatan yang available diluar sana. Kita nggak akan merasa senyesel itu juga ketika pilihan kita nggak berhasil, karena kita tau bahwa yang kita pilih itu udah cukup. Kalaupun emang nggak berhasil, jatuh dan hancur - sampe fishbowlnya pecah, ya itu jadi tugas kita buat bangkit lagi. Buat ngebenerin fishbowlnya lagi dan masuk kedalamnya. Kadang dengan jatuh dan hancur, kita malah bisa liat pilihan/kemungkinan/kesempatan lain lebih jelas karena fishbowlnya 'baru'. Nggak terkontaminasi partikel-partikel lain yang udah masuk kesana. Do you get what I mean?

I ain't the master of choosing choice, karena sebenernya saya payah dalam hal itu. Disini saya cuma berefleksi sama pengalaman aja dan nyoba cari tau kenapa saya bisa se-anxious itu. Setelah ngeliat videonya Barry Schwartz, saya makin paham kalau memang ada 'kebenaran' saat saya berasumsi kalau kebanyakan pilihan malah bikin anxious. Saya juga jadi sadar akan pentingnya fishbowl dalam ngejalanin hidup. Well, well... choosing choice emang kompleks. Choice nya aja udah bikin bingung, gimana choosingnya? :)

Kenapa manusia ... (?)

$
0
0
Seberapa tinggi, banyak dan hebatkah kemampuan manusia yang diperlukan untuk bisa menjadi ‘utuh’?
Apa saja variabel yang dibutuhkan sehingga manusia dapat tentukan kualitasnya?
Adakah masa yang dialokasikan tersendiri untuk manusia agar ia bisa mengukur seberapa pantas dirinya disebut sebagai manusia?

Apa yang sebenarnya menjadikan manusia sebuah entitas ‘penuh’ dan ‘lengkap’?
Uang banyak? Rumah besar? Gelar bertumpuk? Level karir tertinggi?
Pasangan rupawan? Seks hebat? Tubuh langsing? Banyak pengagum?

Followers ribuan? ‘Likes’ ratusan? Adidas Superstar? Nike Roshe?
Bergaya 90an? Bergaya minimalis? Musik indie? Bergabung dengan band?

Memakai cadar? Ke gereja tiap Minggu? Bersujud lima waktu? Meditasi tiap pagi?
Ke gym tiap hari? Yoga di akhir minggu? Menjadi vegan? Mengurangi manis-manis?

Apa sebenarnya yang menjadikan manusia seorang ‘manusia’ tanpa harus berhubungan dengan kebarangan, kenikmatan, keterlebihan, keimanan, dan kekuatan?

Apakah variabel-variabel itu adalah ‘harus’ bagi kita untuk memberi nilai kualitas terhadap seorang manusia (dengan kadang seenaknya sambil menutup mata; tanpa mengulik dan memahami realitas tersembunyinya)?

Apakah ini sebenarnya privilege yang diberikan masyarakat kepada manusia, yang sebenarnya adalah entitas kosong namun murni seperti saat ia keluar dari rahim?

Seberapa pantaskah seorang manusia untuk memberikan perspektif (apalagi stereotip) terhadap manusia lain?

Mengapa ada ketidakadilan bagi manusia?

Mengapa seorang manusia terkadang merasa ‘kurang ‘ dibanding manusia lainnya?
Mengapa timbul rendah diri? Mengapa timbul rasa ingin berkompetisi? Mengapa ingin menang? Mengapa ingin lebih? Mengapa ingin sukses?

Apa sebenarnya yang ingin dicapai seorang manusia?
Apakah kuantitas material tertinggi yang tak berkesudahan?
Ataukah kepuasan mutlak yang dijemput dengan usaha maksimal?

Bagaimana manusia bisa disebut ‘manusia’?
Perlukah embel-embel kata sifat dibelakangnya?
Jika iya, seberapa kuatkah manusia bisa bergantung dengan kerelatifan?
Dalam keadaan tidak pasti dan tidak statis…
Bisa diolor-olor, mudah berubah!
Sangat kontekstual, perlu pemahaman bijak
Kadang menggamangkan dan merisaukan…
Kadang mengundang ego: “aku lebih dari kamu”

Tidak bisakah manusia hidup berdampingan, merayakan perbedaannya masing-masing?
Segala warna itu apabila dikumpulkan dan diorganisir sedemikian rupa, maka akan jadi pelangi ‘kan?
Bukankah itu indah? Bukankah itu menakjubkan?

Mengapa ada ambisi untuk sama?
Mengapa ada determinasi untuk konformitas
Mengapa ada mimpi untuk keserasian?

Apa sebenarnya tujuan manusia hidup dengan manusia lain?
Apa gunanya bermasyarakat kalau hanya timbulkan tekanan dan ketidaknyamanan?
Apa gunanya bermasyarakat kalau kebaikan dilakukan semata-mata untuk menyenangkan seorang manusia, sementara manusia lain masih mengemis untuk kebahagiaan?
Apa gunanya bermasyarakat kalau individualisme dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif?

Apa gunanya kita ada berdampingan dan terkoneksi?
Apa untuk berlomba-lomba meraih “paling”?
Atau semata-mata hanya bertukar cerita,
Atau malah membandingkan nasib, sehingga mengundang kepentingan “Aku” dan sibuk mengukur nilai masing-masing pada akhirnya?

Untuk siapakah sebenarnya nilai itu?
Untuk manusia lain?
Atau untuk Tuhan? (Akan tetapi Tuhannya siapa?)
Atau untuk The Higher Self atau apalah itu yang disebut ketika diri mencapai tingkat consciousness tertinggi?

Oh, atau jangan-jangan untuk diri sendiri?
Tapi untuk apa kalau akhirnya inner peace berlaku hanya sementara?
Karena ia harus menandingi ombak dan badai pikiran keruh yang berada diluar kontrol manusia?

Mengapa manusia sangat terobsesi dengan nilai yang (mungkin) bisa dikatakan ilusi hanya karena kerelatifannya… ketidakpastiannya?
Sekali lagi, apa yang menjadikan manusia ‘penuh’, ‘utuh’, dan disebut ‘manusia’?
Haruskah manusia selalu mengudang manusia lain untuk mengukur kualitasnya?

Lalu apa arti kesendirian bagi manusia?


Sydney, 21 Januari 2016 pukul 1:32 dini hari
Selamat datang 2016!

Ngobrolin 'Stuffocation'

$
0
0
Hari ini suhu Sydney mencapai 37 derajat dan saya kepanasan sendiri di kamar. Tanpa bergerak saja, pori-pori punggung udah ngeluarin keringat - ngebuat saya nggak nyaman, gelisah, pengen nyemplung di air dan berendam. Kipas angin di kamar sudah menyala 'buanter' kalo kata Suroboyoannya. Tapi tetep aja, it didn’t solve anything. Mau keluar rumah juga ‘mager’, males kena sengatan matahari. Bukannya takut item (disini saya malah sering cari panas), tapi lebih ke males keringetan dan capeknya. Menurut saya, suhu 30 derajat keatas di Sydney hanya menyenangkan dalam waktu sementara. Bisa berkegiatan diluar rumah, tapi lama-lama juga lemes sendiri karena kering, haus dan sakit menahan terik. Eh, ini apa karena saya emang lagi males kemana-mana ya akhir-akhir ini? Nggak juga kok. Pokoknya menurut saya panas Surabaya lebih mending daripada panas Sydney. Haha.

Anyway, life must continue with the heat! Jadinya saya browse aja deh informasi baru di Internet, terutama Twitter. Sewaktu scroll down, tiba-tiba saya teringat tentang kata ‘Stuffocation’ yang sempat saya temui kapan hari. Like a typical Kiza, begitu ada ide nongol di kepala, saya langsung pergi ke Holy Google dan mengetik kata ‘Stuffocation’. Sampai lah saya pada suatu artikel di The Guardian yang ngenalin saya ke konsep itu. Waktu pertama kali saya nemu artikel itu, saya belum sempet baca sampe abis karena nemu yang lebih menarik (digital age problem: short attention span). Karena penasaran apa sih sebenernya ‘stuffocation’ ini, saya baca cepet artikelnya. Ternyata itu adalah review buku “Stuffocation: Living More With Less” karya James Wallman.

Source: Goodreads

Steven Poole, penulis review, mendefinisikan ‘stuffocation’ sebagai “a feeling of being oppressed by one’s ungovernable heap of belongings”. Kalau pake istilah Suroboyoan, quick definitionnya “ngeroso sumpek perkoro kakean barang”. For me, this is interesting karena dua alasan.

Yang pertama lebih ke alasan 'umum', yaitu ketika saya harus memilah barang pribadi untuk persiapan pulang ke Indo. Bulan Februari 2016 besok, saya harus balik for good karena student visa yang habis masa berlakunya. Otomatis saya harus packing barang-barang di Sydney untuk dibawa ke Surabaya dan mikirin which ones should stay, which ones should go. Well, sebenernya kalo ngeliat kamar ex-housemates, barang-barang saya nggak ada apa-apanya. Emang nggak doyan nyimpen banyak barang sih, karena potentially bikin nggak rapi (haha). Eh tapi itu nggak berlaku buat baju, buku dan majalah ya; yang akhirnya kapan hari beberapa udah saya 'cemplungin' ke kotak donation. Saat itu nggak ada rasa nyesel ato gimana sih harus 'give up' barang-barang yang once saya seneng, tapi karena jarang dipake, ya udah saya let go aja daripada menuh-menuhin koper.

Lucunya juga, saya malah merasa lebih 'plong' ketika liat lemari baju yang isinya items yang emang saya suka dan (lebih dari) sering kepakenya. Saya realised kalo barang-barang yang saya donate itu emang rata-rata jarang kepake, terus saya beli karena laper mata aja dan bukan karena butuh. Jadi daripada cuma 1-2 kali dipake, so why still keeping those items 'kan? Kalo di Surabaya, biasanya saya turunin ke sodara-sodara ato pernah once saya jualin secara online ato offline lewat yard sale seperti di Locker Keeper dulu. Tapi kalo di Sydney, saya cari cara yang paling gampang aja: 'cemplungin' ke donation bin! Di kawasan Newtown, donation/charity bin mudah ditemukan; sampe-sampe komplek apartemen saya aja punya 1, kepunyaan The Smith Family. Jalan sekitar beberapa blok, udah nemu kepunyaan Vinnies. Terus agak jauh lagi setelah Newtown Station, ketemu punya Australian Red Cross. Ya udah, saya pilih aja yang di sekitar apartemen. Donasi nggak ada salahnya juga, malah rasanya lebih meaningful.

Kalo bingung donation bin itu kayak gimana, kira-kira seperti ini.
Source: Reddit

Kesimpulan buat alasan pertama, sebenarnya saya nggak punya problem dengan 'stuffocation' tapi saya tertarik dengan pengalaman setelah getting rid of things that I no longer need. Like when it gave me contentment in a weird way - mengapa demikian? Katanya nggak punya problem? Makanya itu, saya tertarik buat mengetahui konsep 'stuffocation' lebih jauh.

Alasan kedua, lebih ke alasan khusus yang sebenernya extension dari alasan pertama. Buset cara nulisnya kok udah kayak nulis paper. Haha yaudahlah ya. Jadi, alesan keduanya ialah 'stuffocation' reminds me of my current emotional state. Bulan November 2015 lalu, saya menulis tentang "Choosing choice" yang merupakan refleksi terhadap banyaknya pilihan akibat ketersediaan berlimpah. Walaupun sekarang udah hampir dua bulan lewat, isu ini masih relevan di keseharian saya. Entah pas lagi ngobrol sama temen ato sekedar pas bangun pagi, seperti mikir "Hari ini makan apa ya? Kalo mau makan sereal, bosen. Tapi kalo nggak makan sereal, nggak sarapan dong? Ntar kalo nggak sarapan, bisa lemes seharian blabla..". Yang paling apparent sih ketika saya merasa anxious atau reaching the dead-end street pas mikirin solusi. Saya sering tidak bisa bergerak atau 'paralysed' seperti yang Barry Schwartz ungkapkan - mau jalan kesini, takut salah. Mau jalan kesana, juga takut salah. Apakah karena saya cukup indecisive? Mungkin. Apakah karena saya nggak pedean? Bisa jadi. But I guess titik beratnya adalah ke 'choice' tadi. Pilihan makin banyak tersedia di era digital ini, dimana informasi sangat mudah didapatkan dan pengetahuan manusia makin bertambah.

Lalu, apa hubungannya the abundance of choice dan stuffocation? Ketika saya nonton talk-nya James Wallman, sang penulis yang alumni Oxford University and a former trend forecaster, saya merasa dua hal tersebut berkaitan. Terlebih saat Wallman menyatakan sesuatu seperti 'We are not living in the scarcity anymore, but the abundance'.


Saya pikir, 'stuffocation' timbul karena the abundance of choice tersebut. Balik lagi ke definisinya sang reviewer, 'stuffocation' adalah keadaan dimana kita ngerasa 'tertekan' karena barang-barang yang 'ungovernable' (ato mungkin nggak bisa diatur ya, gampangnya). Saat 'tertekan' inilah, kita seperti 'paralysed' like you really want to clean up the house, but you really don't know where to start. You really don't know what to do with those mountain of papers di meja kerja, cuttleries yang berserakan di sink, junks di sekitar living room (kalo ini sih tinggal buang aja), personal items yang nggak jelas di kamar, terus tiba-tiba ngeliat kayaknya space kamu makin sempit di rumah karena banyak box-yang-isinya-ga-tau-apa-aja (saya banget nih). Bukannya malah start bersih-bersih, kamu malah diem dan akhirnya males buat cleaning up. Rumahnya jadi gagal rapi deh.

Oke, mungkin contoh bersih-bersih kurang begitu pas. Coba kalau kasusnya adalah packing mau kemana gitu. Buat yang sering travelling mungkin itu nggak masalah, karena kayaknya mereka udah punya formula sendiri buat the kind of things they wanna bring. Sebenarnya kalau mau gampang-gampangan tinggal bilang "bawa essentials aja" ato kalo kata artikel-artikel fesyen, "pack the basics" termasuk kaos polos item, putih - pokoknya polos-polos. Tapi, gimana kalau ternyata you have plenty of the basics? Saya nggak mau meng-stereotip kan kalau cewek bakal sering encounter problem ini, cowok enggak karena mereka lebih praktis. Nope, 'coz I believe everyone is unique, jadinya saya pake contoh pengalaman sendiri aja. Saya orangnya emang jarang berpergian, tapi kalau di keluarga, saya termasuk yang paling santai perkara packing (besides Papa saya tentunya). Misal hari Jumat berangkat gitu ya, Kamis malemnya saya baru packing whereas Mama saya mungkin dari hari Selasa udah siap-siap. Walaupun santai, diem-diem saya juga suka bingung tentang apa aja yang harus saya bawa. Sekali lagi, baju saya sebenernya nggak sebanyak itu. But when it comes to packing, you have to choose kan. Choosing is a big matter for me, makanya nggak jarang juga saya unpack beberapa kali hanya karena berubah pikiran. Misalnya, "hm rasanya t-shirt ini lebih keren deh untuk dibawa". Hell yeah, begitulah masalah saya biasanya kalo lagi packing. 

Kita udah ngomongin perkara bingung saat cleaning up dan packing, but sebenernya inti dari 'stuffocation' yang dibahas Wallman bukanlah kebingungan itu. Disini saya cuma berusaha nge-relate topik postingan ini sama bahasan saya sebelumnya tentang the abundance of choice; yang nggak jarang bikin anxious, unhappy, not content, nggak enjoy, dan segalanya yang negatif.

Source: Meme Generator

Karena ada motivasi untuk life must be spent in meaningful way and you should feel happy about it, saya 'tergelitik' buat cari cara biar nggak anxious lagi sehari-hari. Biar nggak overwhelmed sama banyaknya pilihan, karena saya rasa itu masalah terbesar saya akhir-akhir ini. Therefore, ke'berlimpahan' ini saya pikir adalah akar dari timbulnya masalah seperti stuffocation yang bisa diakalin dengan hidup 'minimalis' (coba tengok website The Minimalists), 'paralysis' kayak yang diungkapkan Barry Schwartz, atau simply being unhappy sehari-hari.

Source: Imgflip

Seperti yang udah saya bilang diatas, sebenarnya inti dari 'stuffocation' bukanlah menghubungkannya dengan the abundance of choice - itu refleksi saya sendiri - melainkan dengan memindahkan 'fokus' dari 'materialism' ke 'experientialism'. Biar nggak terperangkap dalam stuffocation, yang saya tangkep dari talk Wallman ialah kita dianjurkan buat ngerombak pikiran - eh, ngerombak rasanya terlalu berlebihan, hm mungkin ngerubah aja deh - okey, ngerubah pikiran dari membeli sesuatu akan ke'barangan'nya ke experiencenya. Disini agak abu-abu sih sebenernya experience yang Wallman maksud itu kayak gimana. Tapi dari contoh-contoh yang dia kasih, pemahaman saya lebih ke 'why spending money on things that end up sitting like stones di garasi kamu' while you can afford to go for something that gives you wonderful experience like learning how to surf ato sebagainya. Kalo mau dipikir lagi, sebenarnya experience ini juga didapet pake duit kan, in which it is easy to point out konsep materialism tadi. So, I guess agak membingungkan juga sih argumennya Wallman.

But I do understand maksudnya dia untuk menitikberatkan sesuatu pada hal-hal yang tak terlihat (tapi sekarang bisa terlihat, thanks to social media) seperti experience. Mungkin contoh mudahnya gini, misalnya aja di hari itu kamu masuk ke sebuah toko baju. Buat beberapa orang yang doyan belanja, it is easy buat tergiur sama item-item disitu and then they end up buying things they don't really need. Sampe rumah, mungkin bisa diitung juga seberapa seringnya si pembeli ini pake bajunya ato worst, bajunya nggak kepake sama sekali karena pas di toko, bajunya nggak dicoba dulu dan ternyata fittingnya jelek. Bulan depannya, kejadian yang sama terulang. Baju bertambah, barang-barang didalam lemari bertambah. Ketersediaan finansial causes frequent shopping, dimana barang-barang valuenya makin menurun. Dari yang sebenarnya fungsional, jadi ter-reduce hanya buat #ootd-an aja di Instagram.

Source: Meme Generator
Saya masih bingung juga; katakanlah si orang ini abis beli barang prestigious seperti tas Hermès dan postingan #ootd nya ternyata dapet banyak like dan itu nimbulin perasaan seneng, bukankah itu experience tersendiri? Nggak usah lah waktu posting #ootd, waktu bisa beli tasnya aja mungkin bisa dibilang ngasih pengalaman yang nggak terlupakan. Apalagi kalau itu tas mahal pertamanya. Biasanya diinget sampe lama sih, kecuali kalo bosen ya.

Oh! Mungkin pelan-pelan saya ngerti apa yang dimaksud dengan "pengalaman" versi Wallman ini. Rasanya lebih ke hal-hal yang ngasih kamu contentment, pleasure, amazement, happiness.... walopun si reviewer juga bingung 'happiness' yang dimaksud Wallman ini yang gimana. Terserah mau mikirnya apa, yang penting gives you maximum pleasure and feel like you are completely immersed into that thing. Misalnya ya travelling. Orang-orang biasanya ngomongin experience kalau ngebicarain kesan pas liburan, entah itu makan yang jijik-jijik pertama kali, ato berada dalam bus trip yang nggak nyaman kayak contohnya si Wallman. Experience ini lekat sama memories, dimana ngingetin Wallman sama note terakhir dari kakeknya on the day he passed away, yang isinya "Memories live longer than dreams". Saya setuju sih, memories tentang pengalaman snowboarding pertama kali di Perisher Valley emang lebih berkesan dibanding atasan H&M yang saya beli beberapa waktu lalu, and end up gak pernah saya pake karena transparan banget. Hehe kalo itu sih udah pasti ya bedanya.

Yeah, I guess dengan berpikir bahwa experience lebih penting, kita bisa memperbaiki gaya mengkonsumsi sesuatu. Dari yang mikirnya lebih kebarangan (ato kuantitas?) dan akhirnya berakhir cuma jadi pile of stuffs di storage room, jadi ke yang nggak keliatan tapi gives you maximum pleasure like experience - misalnya spend money buat naik gunung. Perpindahan fokus ini bisa ngurangin resiko 'stuffocation' yang bisa bikin kita anxious, unhappy, paralysed dan semacemnya. Ngurangin aja lho ya saya rasa, bukan completely menghapus karena munafik kalo mau bilang stop buying unnecessary things - 'coz you don't really know if the thing would be so significant in the future, but biasa aja buat sekarang. Who knows us anyway? Diri kita sendiri 'kan? Jadi ya I guess kita yang bisa mengontrol habit kita sendiri. Dengan kata lain, semua keputusan berada di tangan kita sendiri.

That being said, kebanyakan barang emang nggak enak. Suka bikin pusing karena bingung mulai darimana ngerapihinnya dan mana yang dipilih buat dibawa pindahan - contoh gampangnya. Kalo udah bingung gitu, jadinya nggak hepi, Manusia jaman sekarang sukanya yang instan-instan, jadinya sekalinya ngerasa nggak hepi, pengennya loncat ke hal yang bikin hepi. Misalnya, langsung lari ke Instagram, scrolling down postingan orang-orang yang maybe give them instant pleasure (but later mungkin malah bikin iri karena pengen bisa pergi ke Iceland juga misalnya. Eh, ini sih bahasannya lain lagi ya). Ato bisa aja googling tentang solusi masalahnya, entah tentang packing atau decluttering and then BAM! you'll find bunch of solutions from the experts to the mediocres. Hidup berminimalis juga tampaknya menarik untuk jadi jalan keluarnya, tapi emang butuh komitmen sih. Ntar aja di lain postingan saya ngobrolin itu :p

So are you going to spend more on 'experience'? Tapi, pengalaman macam apa yang ngasih kita minimum risk? Kenapa manusia jaman sekarang 'takut' untuk feeling unhappy - padahal kalo dipikir ini cuma karena kuantitas barang lho, bukan kehilangan orang yang signifikan misalnya. Barang, yang notabene nggak bernafas, barang mati yang nggak bisa ngomong tapi ternyata gives pressure to the owners. Lucu ya kadang-kadang :)) 

Pulang (bagian 1)

$
0
0
Aku teringat sebuah slogan tentang peringatan berkendara di jalanan Surabaya. Disitu tertulis - aku lupa pastinya seperti apa- namun paling tidak terdengar seperti “hati-hati lah saat berkendara, keluarga menunggu di rumah”. Waktu melihatnya sih aku tidak berpikir macam-macam. Aku rasa kalimat itu cukup efektif untuk mengingatkan para pengguna jalan agar selalu berhati-hati: mematuhi peraturan lalu lintas, menghindari kecelakaan fatal, dan yang paling penting lagi, untuk pulang ke rumah dengan selamat.

Tapi, pernahkah kamu berpikir mengapa hubungan antara dua konsep, “hati-hati” dan “keluarga menunggu dirumah” terdengar menyentuh, sehingga sebabkan rasa takut untuk menjadi serampangan di jalan? Mengapa kata “keluarga” dan “rumah” dipilih untuk mengingatkan mereka yang sedang ‘commuting’ agar menjaga keselamatannya di jalan? Mengapa disitu seakan-akan ingin dikatakan bahwa kembali ke rumah dengan badan yang utuh adalah penting? Apakah karena ada orang-orang terkasih di jarak yang berbeda, yang mungkin gelisah atau tidak sabar menunggu kita pulang?

Ini sebenarnya bukan masalah mengkritisi cara pemerintah berkomunikasi dengan pengendara di jalan, tetapi lebih ke ide “kembali ke rumah dengan selamat/utuh”.

***

Pemandangan dari jendela kamar di Sydney, Agustus 2015

Sudah dua minggu lebih aku kembali ke Surabaya dan tinggalkan Sydney. Tugasku disana telah selesai. Aku telah diwisuda untuk program S2 dan dianugerahkan transkrip studi yang memuaskan. Waktu untuk tinggal di kota yang awalnya asing tersebut juga telah habis, karena visa pelajarku telah habis masa berlakunya di akhir Februari 2016 kemarin. Aku tidak punya pilihan selain membeli tiket pesawat jurusan Sydney-Surabaya dan meringkasi barang-barang di apartemen, memeluk para teman dekat dan mengatakan selamat tinggal. Aku tidak punya pilihan selain membiarkan waktu bergulir sampai di hari ketika kupesan taksi ke terminal internasional bandara Sydney dengan koper-koper besar.

Intinya aku datang untuk kembali. Pulang ke tempat dimana semestinya aku menutup mata dan bersembunyi dibalik selimut tiap malam. Tertidur pulas, bermimpi tentang hal-hal random yang membuat kening berkerut, lalu terbangun pada dini hari. Tempat dimana aku berjalan sempoyongan ke kamar kecil sambil sayup-sayup mendengar adzan Subuh dari kejauhan. Tempat dimana pada pagi harinya kubuka mata pelan-pelan karena bisingnya kendaraan bermotor didepan rumah dan derap langkah si adik yang bersiap pergi ke sekolah.

Kembali pulang ke rumah semestinya terasa menyenangkan setelah perpisahan berbulan-bulan. Coba kukatakan padamu, melihat kembali wajah orangtua saat kamu siap memulai hari adalah hal yang tiada duanya. Raut muka apapun yang terlihat pada hari itu tidak menjadi masalah. Tak peduli saat itu sang Ayah terlihat senewen karena seseorang lupa mematikan power komputer atau sang Ibu yang tampaknya terhibur melihat lelucon konyol di layar handphonenya. Pemandangan itu seolah-olah menjadi tetesan air segar untuk dahagamu akan kebersamaan. Sungguh, yang paling penting adalah perasaan damai ketika tahu mereka hanya berjarak dua pintu dari kamu.

Makanan sederhana yang terletak di meja makan pun seakan-akan menjadi santapan spesial. Aku teringat betapa dahulu harus menahan lapar beberapa malam hanya karena kebosanan dan kemampuan memasak yang minim. Mie goreng hangat dengan telur ceplok memang sebuah mahakarya dapur bagi para mahasiswa perantau, namun aku sadar bahwa konsumsi berlebih dapat menimbulkan anomali pada tubuh dan sebisa mungkin kuhindari itu. Pada akhirnya, kupilih untuk membuat sesuatu apa adanya. Berbekal pengalaman melihat teman serumah yang terbiasa berhadapan dengan panci, aku mencoba meniru hal-hal yang biasa mereka lakukan pada makanan. 

Sayangnya, kebiasaan itu tidak berlangsung lama. Saat itu aku berpikir bahwa memasak adalah hal yang ribet dan memakan waktu, sehingga kupilih cara yang praktis namun tetap sehat. Walaupun begitu, aku ingat masa-masa dimana masakan tersebut adalah pencapaian yang luar biasa; mengingat ketersediaan makanan yang selalu diusahakan ‘mbak’ di rumah Surabaya dulu. Aku juga teringat bagaimana makanan menjadi salah satu ungkapan bersyukur pada Kekuatan yang lebih besar disana. Untuk itu, aku selalu pastikan bahwa piring di siang hari itu bersih tak bersisa, tak peduli seberapa besar porsinya melebihi yang biasanya dikonsumsi. Akibatnya, bobot tubuh tak terkontrol dan aku juga malas berolahraga teratur.

Jalanan yang semerawut di kota asal pun tampak ‘menghibur’. Telah lama aku tidak melihat pengendara motor yang tiba-tiba menyelonong dari sebelah kiri dan melakukan belokan tajam didepan. Telah lama juga aku tidak mengerem mendadak karena ada seseorang yang muncul dari sisi jalan dan hendak menyeberang, padahal situasinya sedang mengerikan dengan laju kendaraan-kendaraan yang cepat. Telah lama aku tidak menahan nafas kesal karena hampir tidak ada satupun kendaraan yang mengalah dan memberi jalan, tidak peduli berapa lama lampu sein kendaraanmu berkedip. Semua itu aku anggap adalah peristiwa-peristiwa ironis namun khas dan menjadi sesuatu yang dimaklumi di Surabaya. Namun setelah aku dimanjakan dengan sistem transportasi Sydney yang lebih rapi, kejadian-kejadian tersebut seakan-akan membuka mata dan menantangku untuk berbaur ke rutinitas jalanan tiap harinya.

Kembali ke rumah dengan selamat tentunya adalah harapan orang-orang terdekat kita di kota asal. Semua mengharapkan kita kembali ‘utuh’ setelah lama berpergian. Badan kita masih lengkap, jari jemari tangan masih bisa digunakan untuk mengetik kalimat “Pa, Ma, aku sudah sampai” saat pesawat landai, serta betis dan telapak kaki yang kuat untuk melangkah mantap menuju pintu keluar bandara. Setiap doa yang dilontarkan pun biasanya berhubungan dengan keadaan fisik, seperti mengharapkan pesawat terbang dengan aman dan lancar agar para penumpang sampai dengan selamat dan utuh. Namun, seringkah ada perhatian kepada sesuatu yang tak terlihat pada diri? Misalnya saja yang paling sederhana: perasaan?

Mereka bisa saja melihat kamu sebagai sesuatu yang utuh, tetapi mungkin mereka tidak melihat ada yang ‘hilang’ dari diri tersebut. Untuk hal ini, jelas saja orang lain tidak bisa menilai langsung pada saat ia tersenyum menyapa dan memelukmu erat. Mereka akan baru bisa menarik kesimpulan setelah interaksi yang cukup frequent dengan kamu. Lalu, sebenarnya apa yang ‘hilang’ dari diri ini saat kembali ke rumah dari bepergian yang cukup lama? Aku sendiri belum terlalu yakin akan jawabannya. Namun yang kutahu pasti, aku bukanlah aku yang dulu. Tulisan Haruki Murakami dalam “Sputnik Sweetheart” mungkin dapat mengilustrasikan keadaan tersebut. Bunyinya seperti ini, “I have this strange feeling that I'm not myself anymore. It's hard to put into words, but I guess it's like I was fast asleep, and someone came, disassembled me, and hurriedly put me back together again. That sort of feeling.”

Ya, sepertinya “disassembled” adalah kata yang tepat. Hidup di luar negeri ternyata memaksaku untuk perlahan-lahan keluar dari zona nyaman, beradaptasi dengan kebudayaan baru dan meninggalkan beberapa paham yang kurasa menghambat kesejahteraan aku hidup. Setiap harinya seakan-akan harus dilalui dengan proses negosiasi pada diri saat itu: antara memasukkan perspektif baru kedalam kotak pemikiran dan membuang yang lama, atau menolaknya mentah-mentah namun ternyata proses adaptasi dengan lingkungan baru tidak dapat berjalan lancar.

Proses bongkar pasang pemikiran tersebut mengantarkan aku pada ide sebelumnya, yaitu pada perasaan ‘kehilangan’ saat kembali pulang ke kota asal.Kehilangan disini maksudnya adalah perasaan yang menganggap sebuah diri tidak ‘utuh’ karena sebagian diri tersebut ternyata masih mengendap di tempat yang awalnya baru bagimu, namun pelan-pelan menjadi ‘rumah kedua’. Karena disebut rumah kedua, maka kamu merasa bahagia berada disitu. Kamu merasa bisa menjadi diri kamu yang sesungguhnya, kamu merasa sangat nyaman. Akan tetapi sayangnya, tidak selamanya kamu bisa terus tinggal disana karena sebetulnya itu hanyalah rumah sekundermu. Badan dan perasaan kamu tidak dapat berbohong akan kententraman yang penuh dengan memori pada rumah pertama kamu, kota asal kamu. Seterlenanya apapun kamu, ada perasaan longing untuk kembali walaupun pada kenyataannya kamu berakhir dengan perasaan ‘tidak utuh’. Hati dan pikiranmu telah terbagi untuk dua tempat, yaitu kota asalmu dan kota baru yang telah kamu tinggali cukup lama di hari kemarin.

Hal itu bahkan ditangguhkan dengan adanya pertimbangan-pertimbangan yang muncul ketika kamu hendak memutuskan sesuatu. Kamu sadar bahwa perspektif baru yang didapatkan di kota baru tersebut telah menghasilkan diri yang baru juga, baik pada pemikiran dan sikap. Namun nyatanya, tidak seterusnya perspektif baru itu sesuai untuk diterapkan di kedua tempat, baik di kota asal ataupun di kota baru. Maka dari itu, kamu butuh untuk terus bernegosiasi dengan sekeliling dan menentukan sikap yang sesuai dengan batas-batas yang berlaku di tempat tersebut, walaupun itu dilakukan setelah melakukan bongkar pasang beberapa kali demi ‘bertahan hidup’.

Tentu saja disini ada yang harus dipertahankan, ada yang harus dikorbankan. Yang dikorbankan adalah sesuatu yang kamu anggap ‘hilang’, sehingga kamu tidak merasa seutuh itu saat kembali ke rumah. Dalam kasusku, hal ini berarti kebebasan dan aku akan uraikan lebih jelas di postingan selanjutnya…

***

X dan Y

$
0
0
X: Di saat-saat seperti ini, aku teringat akan cerita seorang tokoh dalam novel Haruki Murakami yang berjudul “The Elephant Vanishes”. Disitu diceritakan bagaimana seorang wanita kehilangan kemampuannya untuk tidur. Hal itu terjadi begitu saja setelah ia menjalani rutinitas sehari-hari dan di suatu malam ia tidak merasakan kantuk sama sekali, sehingga memutuskan untuk membaca buku kesukaannya. Potongan kisah yang aku baca di kereta tersebut masih tergambar jelas di otak, bagaimanapun Murakami selalu berhasil menimbulkan sensasi ‘after-taste’ tersendiri bagi para pembacanya. Entah itu merasa gloomy tiba-tiba karena turut merasakan pemikiran dan tubuh si tokoh dalam cerita, atau merasa terjebak di suatu dimensi cerita tersebut, membiarkan diri ‘disusupi’ oleh si tokoh. Sungguh aneh, aku tidak bisa menggambarkannya dalam kata-kata. Kamu harus merasakannya sendiri. 

Y: (mengangguk)

X: Orang mungkin bilang aku emo, dramatik, berlebihan atau semacamnya. Tapi kadang aku suka berada dalam kesendirian di malam hari seperti ini. Hanya ditemani oleh lagu-lagu favorit dan membiarkan diri dimakan oleh pemikiran-pemikiran sendiri. Aku sadar bahwa ini tidak akan menimbulkan manfaat bagi diri, yang ada biasanya malah masalah - dimana aku tidak mampu membuat keputusan cepat, terlalu berbelit-belit dan akhirnya pening sendiri. Aku jadi terpuruk.


Y: Sabarlah.

X:Tapi lucunya, ini adalah salah satu momen favoritku. Bercumbu dengan pemikiranku sendiri. Sibuk berpetualang dengan angan-angan yang belum tentu menjadi nyata, sibuk mendayung lautan kemungkinan yang tak berujung. Membiarkan diri bebas. Lepas tak berikat dan penasaran.

Y: Apakah kamu bahagia?

X: Kadang aku lelah menghadapi kondisi seperti ini. Aku bosan terlalu lama berputar di suatu titik, aku ingin punya tujuan.

Y:(mengelus punggung X)

X: Siapapun itu, tolong. Tarik aku dari ruangan bergradasi ini. Bubuhkanlah warnamu yang solid pada batas ruang nyata dan imajinasiku. Hapuskan segala lapisan yang mengendap dan mengerak kotor kekuningan di celah otakku. Bangunkan pagar besi yang tinggi dan kokoh sehingga prajurit utopia tidak dapat menembus teritori kenyataanku. Tasbihkan jimat agar hantu-hantu kecilku hangus terbakar, gagal berseteru dengan peri-peri pertahananku.

X: Tolong buat aku berhenti menari. Raihlah jemariku dan rengkuh aku ke dalam tubuhmu. Erat, sampai nafasku dan nafasmu bersinggungan. Biarkanlah kulit-kulitku melepuh, badan telanjangku meleleh dan membasahi pakaian perangmu. Meresap lewat pori-pori gempalan tanganmu yang keras dan larut dalam darah yang mengalir deras itu. Ikuti arus menuju jantungmu yang menggebu-gebu… hingga ku paham bagaimana seharusnya kudetakkan bagianku. Jadikanlah aku seirama dengan nada-nada asing diluar sana hingga lonceng keramat itu berdentang dan kau lompat naik ke kudamu, bertolak membawaku menemui Sang Waktu.


(Music: múm - I Can't Feel My Hand Any More, It's Alright, Sleep Still)

Kembali ke Bromo

$
0
0

Liburan Paskah barusan jadi hari-hari berkesan di bulan Maret 2016. Bagaimana tidak, saya berkesempatan ke Gunung Bromo lagi setelah 7 tahun lewat! 

Kesan pertama: Bromo tidak berubah. Tetap indah dan menawan, walaupun saya rasa suhu sekitar makin memanas saat menjelang jam 9 pagi. Tapi itu tak jadi masalah, malahan bikin happy karena matahari lagi terang-terangnya and we got to catch the sunrise! Apparently, itu juga jadi pengalaman pertama saya liat matahari terbit di gunung. Rasa dingin 12 derajat yang cukup menggigit saat itu akhirnya terlupakan, karena melihat warna langit yang makin cantik seiring naiknya matahari.


Setelah meneguk minuman hangat dan mengunyah roti sobek di kantin sekitar, kami kembali ke Jeep dan meneruskan perjalanan ke Kawah Gunung Bromo. Duduk di bangku depan memang paling seru, pemandangan sekitar bisa terlihat lebih jelas dan mudah untuk diabadikan. Tinggal ulurkan tangan saat kaca mobil samping dibuka dan klik-klik-klik! Puluhan foto telah siap dipilih dan dibagikan ke teman-teman sosmed.

Sesampai di area parkir, kami disambut bapak-bapak yang menawarkan jasa naik kuda untuk menuju puncak kawah. Tawaran mereka kami setujui di tarif normal Rp 150.000,- dan sang kuda siap mengantar pergi dan pulang. Dengan didampingi si bapak, kuda yang saya tunggangi mulai berjalan melenggak-lenggok tegas, melewati lautan pasir. Tak jarang juga si kuda yang bernama Excel itu meringkik keras. Waktu saya tanya sebabnya, si bapak menjelaskan kalo Excel memang doyan berbunyi dan itu adalah cara dia menyapa teman-temannya. Saya tertawa mendengarnya, lucu juga binatang ini.


Sering berlatih sepeda di rumah dengan jarak 10-12 kilometer ternyata tidak membuat saya maksimal ketika menaiki 250 anak tangga ke puncak kawah. Tak jarang di tengah-tengah harus berhenti dan menarik napas, melihat pemandangan sekitar agar rasanya segar terus untuk setiap langkah baru. Kadang jadi terharu saat melihat bapak muda yang sedang menggandeng anaknya saat mendaki. Saya jadi ingat cerita tentang Papa yang panik menuruni kawah sambil menggendong tubuh kecil yang hampir mati kedinginan. Konon katanya bibir si anak sudah membiru dan warna mukanya memutih kepucatan, sehingga balsam dan jaket tebal menjadi dokter penyelamat di mobil. Fyi, anak itu adalah saya dan untungnya hingga sekarang, hawa dingin tidak pernah meruntuhkan imun tubuh sampai parah!



Kalau Bromo trip 7 tahun lalu bertema quality time bersama keluarga, tahun 2016 ini pastinya berbeda. Saya berangkat dengan rombongan Jakarta, yang dimana beberapa orang baru saya kenal di bandara Juanda. Namun itu tidak jadi penghalang seru-seruan berwisata kali ini, malahan jadi makin asik karena mengenal hal-hal baru tiap harinya. Ditambah lagi, kesempatan mengunjungi lokasi-lokasi terkenal di kawasan Taman Wisata Bromo Tengger Semeru seperti Padang Savannah atau Bukit Teletubbies dan Pasir Berbisik. Saya jadi makin senang karena terkagum-kagum oleh pemandangannya.


Akhirnya, terpuaskanlah dahaga akan angin sejuk, hamparan hijau dan dahan pepohonan yang bersandar di langit biru. Kalau dulu bisa secara mudah saya temukan dengan naik bus di Sydney, kini memang harus dituntaskan lewat perjalanan berjam-jam dan lelah di dalam bodi angkutan terlebih dahulu. Tapi, bukankah itu intinya perjalanan? Menghadapi, menikmati dan melalui proses - yang bagi saya sejujurnya masih sukar dilakukan.

Overall, liburan Paskah 2016 ini tidak kalah menarik dibanding tahun lalu yang saya habiskan di Port Stephens dan Royal National Park, Australia. Masing-masing punya highlights yang wajib dikenang seumur hidup. Malah lucunya, kedua trip sama-sama dihadapkan dengan masalah ban bocor! :)

Sampai ketemu di cerita perjalanan berikutnya. Selamat hari Paskah!


*thanks P foto-fotonya!*

Nonton konser di Sydney!

$
0
0
Kalo ditanya hal yang berkesan selama di Sydney apa, saya bakal jawab (salah satunya): the concert part! Saya bersyukur banget bisa satu persatu ngewujudin mimpi liat musisi favorit langsung, kayak misalnya Death Cab For Cutie dan CHVRCHES yang saya pikir nggak akan pernah terjadi. Jadi, di postingan ini saya bikin list musisi yang saya tonton secara live di Sydney dan sekelumit cerita dibalik itu. Selamat membaca! :)

21 November 2014: Young Magic @ Oxford Art Factory
Saya seneng Young Magic sejak baca profile mereka di majalah NYLON Indonesia edisi Juni 2012. Disitu saya tertarik karena vokalisnya, Melati Malay, merupakan blasteran Indonesia-Amerika dan dia kerja bareng Isaac Emmanuel, produser asal Australia. Pas coba dengerin album pertama mereka yang berjudul Melt, saya langsung jatuh cinta sama Night In The Ocean. Lagu itu pun jadi ultimate soundtrack kalo lagi main ke pantai di Sydney saat sunset plus ditemani angin semilir. Memasuki bulan November 2014, saya cukup khawatir karena rasanya nggak ada temen yang suka Young Magic. Tapi daripada nggak berangkat terus nyesel, akhirnya saya nekat beli tiket dengan sikap bodo-amat-yang-penting-hati-seneng-walopun-nonton-sendiri.

Saya, Karina dan Anty!
Pas deket hari-H, tiba-tiba si penyelenggara bikin kuis berhadiah 2 free tickets. Langsung deh saya ikutan dengan harapan bisa ajak temen-temen biar nggak sendirian nontonnya. Eh ternyata saya menang dong! Tiket pun segera saya kasih ke Karina dan Anty. Untunglah mereka setuju ikutan datang :). Live show Young Magic di Oxford Art Factory, Darlinghurst malem itu berjalan oke - bikin hati meletup-letup (lebay ah) dan muka 'cengengesan' karena bisa dapet tempat di front row! (yang ternyata harus geser juga ke belakang karena 'ngalah' sama fotografer^^"). 

***

10 Maret 2015: 65daysofstatic @ Manning Bar
Ini salah satu konser yang saya pikirin lama-lama whether mau beli tiketnya or not. Di satu sisi, it's 65daysofstatic! Saya suka band post-rock asal Sheffeld, UK ini dari taun 2008 dan pas itu doyan-doyannya dengerin live album Escape from New York. Track favorit saya adalah Retreat! Retreat!yang merupakan lagu wajib kalo lagi pusing atau nggak mood pas itu :p.

Noticed the man bun over there? Waktu itu emang lagi hip-hipnya di Sydney! #salahfokus
Beruntung saya punya account di Spotify Australia, jadinya bisa catch up sama lagu-lagu baru mereka di album Wild Light. Album yang dirilis taun 2013 itu bolak-balik saya dengerin sambil ngerjain tugas di ruang belajar kampus, itung-itung biar familiar kupingnya :). Pas hari-H, saya nggak berhasil dapet front row, tapi cukup puas dengan berdiri ditengah-tengah dan menggerakkan kepala kanan kiri biar bisa liat anggota bandnya. Saya lupa saat itu nonton sendiri apa nonton bareng Audrey si housemate kesayangan, yang jelas malem itu cukup psyched karena sempet liat penampilan Solkyri, post-rock band dari Sydney. Oh, nggak lupa juga kalau konser 65dos diadain di bar kampus sendiri! Hahaha bangga dikit boleh lah.

***

19 April 2015: Funeral For A Friend @ Manning Bar
Satu kata sebelum konser ini dimulai: EXCITED! Gimana enggak, malem itu saya sama Audrey bersiap nonton band yang kita dengerin waktu high school, which is like.. 10+ years ago! (langsung berasa tua :p). Bolak-balik kami teriak kecil-kecil ala cewek, because we think that Funeral For A Friend is basically an old emo band (ya nggak old2 banget sih) dan live show mereka kali ini jadi ajang nostalgia fangirl yang udah nginjak mid 20s ini.


Video: Funeral For A Friend - History

Saya dan Audrey makin excited begitu mereka mainin track-track favorit seperti Juneau, Escape Artists Never Die dan pastinya... History. Wiih waktu History dimainin, semua pada sing along dan diem-diem saya terharu karena akhirnya bisa dengerin lagu ini secara live!

***

27 Mei 2015: The Preatures @ Sydney Opera House
Saya tau band asal Sydney ini dari Karina dan langsung suka musiknya begitu denger Is This How You Feel?dan Somebody's Talking. Pas saya browse, ternyata gaya si vokalis Isabella Manfredi keren juga. Jadinyalah saya excited ketika mereka mau konser tunggal di Sydney Opera House (plus setelah dengerin album Blue Planet Eyes beberapa kali di Spotify :p). Fyi, konser The Preatures ini adalah bagian dari acara VIVID Live 2015 yang waktu itu juga nampilin Sufjan Stevens, Flume, Daniel Johns dan TV On The Radio. Namun karena mahal-mahal tiketnya, saya urung pergi :')


Sayangnya, waktu itu adalah seated concert karena mengikuti desain ruangan hall Sydney Opera House. Kurang seru kalau saya bilang untuk musiknya The Preatures. Saya dan Karina bolak-balik komplain "Ini kenapa seated sih?", haha. Ya gimana, space-nya kurang kalau mau gerak-gerakin badan 'kan. Apalagi pas lagu-lagu favorit kita dimainin. Tapi untunglah si Izzy (nickname Isabella Manfredi) nyadarin kondisi itu, di beberapa lagu terakhir, doski ngajak penonton berdiri dan joget sepanjang lagu. Yay, akhirnya! Malem itu saya dan Karina pun pulang dengan puas :D

***

24 Juni 2015: Title Fight @ Factory Theatre
Bisa dibilang ini konser Title Fight paling nggak nyaman yang pernah saya datengin. Alesannya pertama gara-gara saya nonton sendiri and it was quite male-dominated gig (and I secretly felt insecure). Alesan keduanya... soundnya nggak begitu bagus! Saya hampir nggak jadi nonton waktu itu karena tau area sekitar Factory Theatre itu sepi dan saya kudu nonton sendiri, jadi simply ngerasa nggak safe karena nggak ada temennya. Tapi karena sayang duit, akhirnya saya memutuskan berangkat. Naiklah saya ke bus jurusan Marrickville yang bisa distop deket apartemen. Nggak lama, bus itu sampai and I was greeted with plenty of people yang pake kaos item-item dengan range umur beragam. I felt socially awkward sih saat itu, jadinya saya segera naikin tangga ke venue.


Sekali lagi, karena dateng sendiri, saya memutuskan untuk 'mojok' di pinggir kanan dancefloor - deketan sama tirai yang bikin posisi jadi makin awkward karena nggak bisa disandari. Bolak balik saya noleh sana-sini, kali aja ketemu temen tapi tau kalo itu waste of time. Yaudah deh saya pasrah dan sepanjang konser hanya bisa mantengin dari jauh, sesekali gerakin kepala, kaki dan badan. Dideket saya waktu itu sempet ada mas-mas yang kayaknya juga solo goer, tapi namanya Sydney, orang-orang nggak 'ngurus' kalian mau dateng sendiri ato sekampung. Yang penting having fun. Emang sih, konser malem itu lumayan lah karena beberapa lagu dari album Shed (yang saya familiar) dimainin seperti Coxton Yard dan Shed.

***

11 Juli 2015: Alpine @ Metro Theatre
Konser Alpine termasuk salah satu show yang saya beli dengan spotan sekaligus konser terbaik. Kenapa? Karena penampilan atraktif Phoebe Baker dan Lou James, duo vokalis band indie pop asal Melbourne ini bikin tambah asik! Gak heran kalau sepanjang konser, penonton kerap berseru riuh dan goyang-goyang ngikutin irama :p

Photobox masih idup ternyata!
Waktu itu saya dan Karina dapet tempat di bagian agak belakang dancefloor, namun terdepan dari lantai bertingkat diatasnya. Asik! Saya yang kecil ini akhirnya bisa melihat penampilan mereka dengan jelas. Kami jadi tambah hepi deh dan sing along begitu Foolish, Damn Baby dan Gasoline dimainin. Walopun konsernya udah selesai malem harinya, iramanya kayak masih terngiang-ngiang di kepala saking perfectnya! Haha berlebihan ya. Tapi beneran deh, salut sama Alpine karena penampilannya yang atraktif dan kualitas sound yang rapih :p

***

27 Juli 2015: Gengahr @ Newtown Social Club
Berbeda dengan lainnya, konser Gengahr ini gratis (buat saya) karena 1 tiket berlaku 2 orang. Thanks to Karina, dia berhasil negosiasi sama salah satu orang yang misadventure gitu, jadinya ngga bisa dateng pas hari H dan kebetulan Karina nyari tiket itu udah banget-bangetan. Dengan berjalan kaki dari apartemen saya di Newtown, kami pun sampe di venue dan nyempetin nonton opening act-nya, Velociraptor, band garage rock dari Brisbane. Cukup oke buat jingkrak-jingkrak kecil.


Saat jeda acara, saya dan Karina duduk di pinggiran venue sambil memandangi penonton lain. Kami pun berasumsi kalau konser kali itu bakal sepi. Eh ternyata enggak, menjelang main act, penonton pada berjubelan dan untung aja kami udah 'book' tempat didepan. Yak, didepan! Saya waktu itu sih agak canggung karena belum familiar sama musiknya. Cuma sempet dengerin beberapa kali dan lagu yang saya inget pun juga kayaknya cuma satu yaitu She's A Witch. Lol. Tapi untungnya saya enjoy-enjoy aja nonton penampilan mereka dan jogetan Karina sempet dipuji sama salah satu penonton, soalnya keliatan banget kalo so into Gengahr! Hehe. Setelah gig selesai, Karina ngajakin saya buat nungguin si abang-abang Gengahr dan foto bareng. I was like "you sure?" karena biasanya mereka langsung ngacir kan ke backstage. Eh, ternyata nggak dong. Dua member Gengahr malah berbaur sama penonton setelah acara and we were lucky enough to have quick chit-chat (plus foto bareng) sama abang-abang London itu!

***

2 Agustus 2015: Death Cab For Cutie @ Enmore Theatre
MY DREAM CAME TRUE! Betapa antusiasnya saya begitu tau Death Cab For Cutie akan konser di Sydney. Gimana enggak, lagu-lagu band ini nyimpen banyak kenangan. Salah satunya pas jaman-jaman kuliah semester awal taun 2008 dimana saya dan Putri sedang berkendara di mobil. Lagu-lagu dari album Plans mereka cukup jadi 'saksi' kewolesan sekaligus kesenduan kami saat kuliah :p Eh, nggak hanya itu sih. Sebenarnya saya udah mulai dengerin DCFC dari SMP kelas 2, taun 2003-2004, pas DJ FM nyetel lagunya yang berjudul Crooked Teeth. I fell in love with the band sejak itu, apalagi saat lagu-lagu dari album Plans yang udah saya sebutin tadi dimainin. Wuihh rasanya kayak mimpi pas dengerin Ben Gibbard nyanyiin What Sarah Said, track terfavorit saya, secara live.<3 p="">3>

Kembaran sama Audrey pake kaos DCFC!
Death Cab For Cutie - Little Wanderer

Death Cab For Cutie - Transatlanticism

Konser saat itu benernya adalah promosi DCFC untuk album barunya, Kintsugi. Para penonton bisa dibilang nggak sefamiliar itu ketika lagu-lagu baru dimainin, tapi rasanya cukup seru juga ketika Black Sun sama Little Wanderer dibawain. I Will Possess Your Heart juga bikin gig mate saya kali itu, Audrey, antusias ikut sing along dan pastinya... I Will Follow You Into The Dark yang bikin suasana jadi makin melankolis (lol). Ditambah lagi saat Transatlanticism dimainin, waktu itu suasana sekitar kayak langsung krik-krik-krik sunyi banget! Orang-orang seakan-akan diem buat berdoa, tapi nyatanya lagu yang terkenal sama barisan lirik "I need you so much closer" itu emang bikin semua meleleh..... hahaha. Ya gitu deh, saya nggak peduli kalo suka sama DCFC dibilang emo, alay, atau kawan-kawannya. Yang penting lagu-lagunya banyak yang berkesan buat saya :)))

***

17 Oktober 2015: Rhye @ Oxford Art Factory
Nonton Rhye juga cukup dadakan dan lagi-lagi thanks to Karina yang ngajakin. Malam itu kami ketambahan dua gig mates yaitu Aang dan Fanny, dua temen Karina dari Jakarta. Yay, tambah seru deh. Anyway sebelum ke konser grup musik asal California ini, saya emang udah beberapa kali dengerin albumnya yang berjudul Woman. Tapi lucunya, sebelumnya saya nggak pernah bener-bener tau siapa aja anggotanya. Saya kira vokalisnya cewek, eh ternyata pas googling kok keluar foto dan nama cowok. Wah ternyata saya terkecoh, Rhye ini yang nyanyi ternyata cowok, namanya Mike Milosh yang udah married sama seorang aktris juga :p


Saya suka konser Rhye malem itu, karena ternyata live version mereka lebih dinamis dan atraktif. Hihi, beda sama audio versionnya yang lebih slow, enak buat 'leyeh-leyeh' dan bikin ngantuk. Well, live-nya juga slow sih, tapi beda aja dan lebih unik. Ditambah lagi suara Milosh yang lembut dan merdu, wihh bikin pengen merem pas dengerin lagunya. Pembawaannya yang tenang dan lihai pun jadi nilai plus. Rasanya pengen bawa kasur dan tidur saat itu juga! :p Track-track andalan macem Opendan The Fall pun dinyanyikan dengan syahdu, tapi sempet juga si Milosh becanda di tengah-tengah. Saya lupa pastinya lagu apa saat itu, yang jelas dia minta para penonton diem biar suasananya makin 'dapet'. Eh ternyata suara bartender yang mengkocok minuman malah ngeganggu dan Milosh dengan lihainya ganti lirik lagu itu jadi seakan-akan nyuruh si bartender berhenti. Penonton ketawa deh dan langsung tepuk tangan. Seru!

***

11 November 2015: Tame Impala @ Sydney Opera House Forecourt
Sebenernya Tame Impala yang asal Perth ini udah pernah maen ke Jakarta, cuma waktu itu saya belum suka-suka banget dan emang nggak seniat itu sampe keluar kota buat konser. Begitu di Sydney, band ini makin hip. Lagu-lagunya dari album terbarunya, Currents, kadang terdengar di beberapa kafe. Seperti nggak ada batasan tipe pendengar Tame Impala, haha.


Sore itu, saya pergi nonton dengan Karina, Dityo, temen band Karina yang lagi belajar musik di Sydney Conservatorium of Music, dan Jaye, cewek asal Newcastle yang kenal Karina lewat Instagram. Kami nyampe agak pagi, dengan maksud bisa 'jip' tempat gitu sewaktu Tame Impala main. Disana ternyata udah rame, beberapa orang malah udah duduk didepan panggung dan nggak rela ninggalin tempatnya demi liat Kevin Parker cs lebih deket. Yaudah akhirnya kami bertiga dapet space di entah barisan keberapa dari depan, yang jelas cukup bikin saya bingung ngeliatnya harus gimana. Tuh, liat aja fotonya. Bisa dibayangin 'kan betapa strugglingnya cewek dengan tinggi 151 cm untuk nonton konser di luar negeri? :') Btw, kualitas sound konser ini cukup menuai kritik, termasuk dari Sticky Fingers, karena dinilai kurang 'menggelegar' untuk ukuran gig di Sydney Opera House. Saya pun merasa begitu sih, bakal lebih seru kalau dibuat lebih keras, apalagi ketika Let It Happen dan Feels Like We Only Go Backwardsdimainin.

***

2 Desember 2015: Mew @ Manning Bar
Ini jadi salah satu dari 3 konser favorit saya di Sydney! Kualitas performance Mew emang nggak pernah bikin kecewa sih. Terakhir saya nonton live-nya saat mereka main ke Kenjeran, Surabaya (yes Surabaya!) buat festival musik Coca Cola Soundburst 2011. Disitu saya masih bekerja untuk sebuah majalah dan luckily berkesempatan hadir di press conference-nya plus nonton mereka dari jarak lebih deket, maksudnya didalem pagar pembatas antara stage dan audience. Pengalaman itu bisa dibilang mengesankan, karena emang performance Mew bener-bener wow, tanpa cacat :')) And beruntung sekali lagi, saya bisa hadir di konser mereka di kampus saya (lagi) setelah 4 taun berikutnya *yay*.


Closing act dari Mew malam itu

Menjadi solo concert-goer malem itu juga nggak meruntuhkan semangat saya buat nonton live show band favorit dari SMP, yang ternyata baru tampil pertama kali di Australia tahun itu. Saya sampe di venue agak malem, mendekati jam-jam Mew tampil. Emang awkward sih rasanya pergi nonton konser sendiri, tapi yaudah deh ketimbang nyesel 'coz it's Mew! Malem itu, saya berdiri di barisan kedua dan agak 'mojok' di kanan sampe ada mas-mas berbaik hati gave up his space for me, 'coz I think he noticed kalo saya pendek dan keberadaannya bisa mem-block pandangan saya. Baik sekali yah! Saya langsung ucapin makasih dan maju ke tempat yang udah dikasih doi. Rejeki anak pendek! :p Pokoknya Jonas Bjerre malem itu kayak malaikat deh, pembawaannya yang tenang dan suara tingginya bener-bener bikin 'after-taste' konsernya melekat sampe berminggu-minggu :) Wiih, mengesankan banget pokoknya karena mereka hampir mainin semua track favorit saya (dan orang-orang) seperti 156, Snow Brigade, Am I Wry? No, dan Special.

***

4 Desember 2015: Unknown Mortal Orchestra @ Metro Theatre
Thanks to Karina (lagi) karena udah ngajakin ke konser Unknown Mortal Orchestra yang sold-out ini. Sebenernya saya nggak seberapa dengerin band yang dapet Best Alternative Album di New Zealand Music Awards 2015 ini. Cuma pernah dengerin sekali lewat Spotify dan saya pikir mereka cukup keren. Alhasil saat itu ketika diajak Karina, saya langsung berkata 'iya'. Oh sebelumnya sempet mikir-mikir sih, karena dua hari sebelumnya nonton Mew. Masa nonton lagi sih, begitu pikir saya. Tapi ya udah deh, mumpung di Sydney, coba deh dipuasin dahaga nonton konsernya :')


Malem itu saya nonton berempat sama Karina, Dityo dan temen Dityo yang orang lokal Oz (lupa namanya siapa). Kami menempati posisi seperti kemaren saat nonton Alpine. Beruntung deh walaupun pendek dan rame banget, saya masih bisa keliatan performersnya nyayi. Keren sih waktu itu, para penonton bener-bener pada joget - padahal bisa dibilang lagunya nggak se'rancak' itu lho. Saya pikir sih ini karena mereka udah kayak punya 'pasar'nya sendiri, pendengar loyal dengan tipe-tipe musik seperti UMO. Lagipula lagu-lagu mereka yang So Good At Being In Troubledan The World Is Crowded beneran bikin terngiang-ngiang pas pulang :))

***

4 Februari 2016: CHVRCHES @ Enmore Theatre
When CHVRCHES made announcement for their Sydney show, I was like.. "OMG! I have to go! I freaking have to go!". Haha maaf lebay, tapi begitulah. Sebenernya cukup lucu juga kalau diinget-inget awal ketertarikan saya dengan band ini. Dulu kalau nggak salah nemu CHVRCHES dari salah satu website, Pitchfork apa ya. Entahlah, lupa. Waktu itu saya penasaran sama judul lagunya yang hipster sekali, yaitu The Mother We Share. Saya dengerin deh dan cari albumnya, haha. Kesan pertama, masih saya inget, adalah they are just another electronic band, that's it. Terus saya berhenti dengerin mereka. Eh.. bulan-bulan berikutnya, rasa penasaran saya balik lagi ke band asal Skotlandia ini. Ternyata enak juga musiknya setelah didengerin beberapa kali. Sejak saat itu, saya doyan dengerin mereka dan ngikutin berita vokalisnya, Lauren Mayberry yang concern sama isu perempuan dan misogyny di industri musik (sampe saya bikin essaynya buat kuliah lho ^^").

Lauren Mayberry dan Martin Doherty. Iain Cook nya nggak keliatan!
Video: CHVRCHES - The Mother We Share


Lauren nunjukin keahliannya drumming :)

Saya diapit duo bersaudara Sukriti dan Smriti. Btw liat tuh, dibelakang saya ada bapak-bapak berumur dan pas saya perhatiin, mereka enjoy banget liat CHVRCHES lho!
Hari itu saya berangkat sendiri ke Enmore Theatre dengan berjalan kaki. Udah deh buat CHVRCHES saya bela-belain juga nonton, walaupun nantinya emang sendiri. Eh ternyata ditengah-tengah saya berhasil kontak Sukriti, salah satu temen di Sydney yang doyan juga, dan gabung sama doi di front row. Yes, front row! Saya pun jadi makin antusias dan sibuk bergoyang waktu track-track favorit dari kedua album, The Bones Of What You Believe dan Every Open Eye, dimainin macem Gun, We Sink, Leave A Trace, dan Clearest Blue. Wahh pokoknya DREAM CAME TRUE juga deh kali itu. Apalagi tiga hari berikutnya saya bakal nonton band ini lagi di Laneway Festival. Sekali lagi thank you to you yang udah bikin ini jadi possible! :D<3 p="">3>

***

7 Februari 2016: Laneway Festival 2016 @ Sydney College of Arts
Bisa dibilang ini adalah konser penutup saya selama tinggal di Sydney. Huhu, sedih juga sih kalo dipikir. Tapi gak apa-apa, walaupun penutup, Laneway Festival 2016 di Sydney ini sangat berkesan! 

Violent Soho rame banget!
High Tension, rawr!
Pas leyeh-leyeh sambil liat Japanese Wallpaper
Bareng Karina :)
Grimes yang seru!

Kesalahan kami saat itu adalah pergi ke festival terlalu awal, jadinya pas malem udah pada kecapekan dan malah nggak kuat berdiri buat liat main acts. Huhu maap yah buat kalian yang jadi gig mates saya waktu itu, abisnya penasaran banget sama High Tension sih yang emang main pas siang-siang. Gimana enggak, saya udah ngikutin vokalisnya, Karina Utomo, sejak dia masih di Young and Restless dan sekarang musiknya makin gahar aja bareng band barunya. Penampilannya pun juga atraktif dan sangat bersemangat!

Kalo nonton festival kayak gini emang harus sedia energi ekstra. Harus kuat jalan dan sering pindah stage buat ngejar penampilan band yang mau diliat. Untung-untung kalo yang diliat itu bagus, kalo jelek? Wah rasanya dibuat duduk-duduk aja deh sambil istirahat di pinggir kayak waktu liat Japanese Wallpaper, yang ternyata jauhh banget kualitas livenya dibanding audionya (padahal saya udah ngarep-ngarep bisa dengerin suara Pepa Knight live juga pas Waves dimainin).

Btw, yang paling seru dari line-up nya itu sih menurut saya Grimes. Walopun saya cuma bisa liat dari samping dan jauh sambil siap-siap mau nonton CHVRCHES, lagu-lagunya cukup bikin gerak-gerak sendiri ditempat. Penampilan Grimes dan penari latarnya bener-bener enerjik dan sukses bikin penonton riuh. Pas CHVRCHES main pun juga begitu, penonton sangat berdesakan demi ngeliat wajah Lauren Mayberry, Iain Cook dan Martin Doherty lebih deket. Sampe-sampe saya sempet ngerasa sesek, tapi yaudah lah karena mereka yang main saya nggak masalah :')

When it was time to see Beach House pun, kami udah kewalahan dan malah merasa tambah loyo dengan lagu-lagunya mereka yang mendayu-dayu. But di satu sisi, I secretly felt really really happy karena bisa liat/denger live-nya band asal Baltimore yang saya senengin dari 2010. Yang lucu lagi juga waktu Purity Ring main. Padahal pengen banget liat, tapi udah bener-bener merasa capek sampe kami harus duduk di pinggiran dengan puluhan orang lain (yang kecapekan juga)... sambil sayup-sayup mendengar lantunan dari Megan James dan Corin Roddick itu. Bisa diliat dari giant screen juga kalau penampilan mereka memukau, pokoknya tambah apik deh karena dibarengi sama visual effect keren dan sound yang jernih :p

Selain band-band yang saya sebutin tadi, saya juga sempet ngeliat performance-performance menarik dari Goldlink, Shamir dan The Internet. Tipe musiknya Karina banget yang semacem R'n'B/Hip-hop, tapi cukup bikin saya terhibur karena Goldlink saat itu sempet bawain hit-hit jaman dulu kayak Jump Around. Saya jadi ikut melonjak-lonjak karena inget taun 2003 dimana lagu itu jadi lagu wajib untuk dance. Haha. Overall, Laneway Festival 2016 ini capek tapi menyenangkan!

***

Sempet rajin nonton gig di Surabaya bikin saya come up sama poin-poin What I've Learned From Sydney's Gigs....

#1. Pembelian tiket di Sydney gampang banget dilakukan secara online. Tinggal buka website venuenya, klik Buy Ticket, nanti diforward ke situs-situs pembelian tiket macem Ticketek, Moshtix, Oztix, atau halaman khusus dari venuenya sendiri.

#2. Cari info gig di Sydney juga gampang banget! Tinggal ambil free magazine kayak The Music ato The Brag, buka halaman gig guide (ato buka websitenya), nah disitu ada sederet list gig yang bisa ditonton setiap harinya. Pas pertama tau, saya semacem amazed karena literally BANYAK banget acara musik yang bisa ditonton di Sydney! Oh ya, dua majalah tadi biasanya ada di toko elektronik JB Hi-Fi ato jalan aja sepanjang King Street, Newtown. Pas jam-jam tertentu majalah itu dateng se-'gepok' dan ditaruh didepan kafe, bar atau venue musik.

#3. Sydneysiders jogetnya lebih 'loss', nggak peduli genre musiknya apa (btw ini kalo saya compare sama gig-gig independent musik rock/pop/jazz/folk di Surabaya lho ya, nggak tau lagi kalo elektronik). Cowo cewe nggak malu buat goyang. Kadang saking bebasnya, goyangan mereka kurang nyambung sama musiknya. Kayak misalnya pas itu saya liat cewe goyang-goyang ala dugem waktu konser Mew. Ya nggak masalah sih, suka-suka dia mau joget kayak gimana. Mau kayang pun saya juga nggak peduli. Tapi lucu aja :p 

#4. Jangan kuatir kalo keabisan tiket konser. Buka aja halaman Facebook Event-nya atau Gumtree Australia, biasanya ada orang-orang yang jualan disitu. Tapi ati-ati ya, nggak semua orang bisa dipercaya. Saya pribadi sih belum pernah beli dari orang-orang macem gitu, tapi seorang teman pernah nyeritain pengalaman paitnya beli tiket di third-party (istilahnya). Pas sampe di venue, doi nggak diperbolehin masuk karena dibilang tiketnya udah nggak valid :O. Eh, kalo emang kepepet nggak apa-apa juga kok, cuma pastiin aja tiketnya valid dan jangan bayar sebelum tiketnya kalian terima dulu ya! 

#5. Jangan lupa bawa ID kalo acaranya 18+. ID bisa berupa paspor ato driver's license asli, jangan fotokopian. Saya sih biasanya pake SIM Indonesia, karena males bawa paspor kemana-mana dan SIM sendiri udah ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Emang sih biasanya yang ngecek selalu mengernyitkan kening pas liat SIM saya, mereka kayak wondering saya kelahiran tahun berapa. Tapi dari semua itu saya lolos pengecekan kok dengan hanya bawa SIM. Oh ya, event dibuat dengan kategori 18+ disana karena ada penjualan minuman beralkohol.

#6. Penggunaan hape nggak terlalu intens pas konser. Yang saya amati, audience Sydney prefer nikmatin musik lewat telinga dan mata, bukan lewat layar hape :p. Sepanjang acara, jarang gitu saya liat orang-orang yang ngarahin hapenya dan nge-video ato motret si performer. Oh kecuali mereka-mereka yang ada di front row ya. Nggak tau juga kenapa begitu. Kalopun ada yang motret dan ngevideo biasanya bentar-bentar dan itu dikit. Setelah selesai sama hapenya, biasanya mereka balik nikmatin musik sambil nyeruput minuman (plus goyang-goyang sama temen/sendiri!).

#7. Harga merchandise cukup pricey. Kaos band biasanya berkisar AUD 30-40, CD sekitar AUD 12-22an. Vinyl kurang tau, karena nggak koleksi. Tapi harga-harga bisa dicek di website JB Hi-Fi, toko-toko records macem Red Eye Records, Repressed Records, atau Resist Records (khusus band hardcore dan punk), ato website bandnya itu sendiri. Kalo pas konser, mereka juga selalu sediain booth merchandise kok yang bisa kalian samperin. Asiknya lagi, mereka juga terima pembelian barang dengan memakai EFTPOS/electronic funds transfer at point of sale. Jadi nggak perlu bawa cash banyak-banyak deh. Oiya, ini juga berlaku kalau mau beli minuman juga ya.

#8. Ada photo booth yang wajib dicoba di Metro Theatre. Suka banget kalo ada gig di Metro Theatre, bisa nyobain mesin yang ngeluarin foto instan ini. Kalo udah gitu, saya keinget scene di tv series New Girl pas Jess foto bareng Nick di acara nikahan. Haha. Anyway, saya lupa nih berapa harganya sekali foto. Kalo nggak salah AUD 10 deh dan bayarnya cash yah!

#9. Experience the 'miracle' kalo kamu pendek. Saya suka terharu kecil-kecil kalo di Sydney. Abis disini orang-orangnya walopun keliatan cuek diluar, tapi considerate didalem! Contohnya pas liat Mew, tiba-tiba ada cowok yang gave up space-nya karena kayaknya doi nyadar saya kecil, terus kesusahan liat performer dengan jelas. Dan itu si cowok nggak bermaksud flirting lho, dia emang literally berbaik hati! Selain itu, pas konser CHVRCHES, cewe-cewe yang badannya lebih gede dari saya juga bersedia ngasih tempat dan tanpa ngedumel. Hal macem gitu bikin saya mikir juga semisal berdiri di front row. Saya selalu mastiin belakang saya bisa ngeliat performernya juga, walopun tau udah pasti mereka bisa ngeliat dibelakang orang yang tingginya dibawah 155 cm ini. Haha.

#10. Info set times? Cek Facebook!. Kadang kalo sebuah konser ada opening acts-nya gitu 'kan agak males ya, pengennya liat main act-nya langsung. Tapi JANGAN SALAH! Biasanya opening act ini juga dipilih yang bagus-bagus. Jadi dateng aja sesuai jam yang tertera di tiket. Siapa tau bisa sekalian 'jip' tempat :p Kalo males, yaudah tinggal buka Facebook event konsernya dan pantengin komen-komen dari postingan-postingan yang ada disitu. Kadang ada stranger yang posting jadwal manggung band-band tersebut. Buat nentuin validitas info tadi, bisa coba tanya bandnya langsung di Twitter :)

Oke, segitu dulu ya. Sampe ketemu di cerita-cerita 'naik haji' lainnya!

3 album di Mei 2016 yang saya tunggu :)

$
0
0
Udah minggu ketiga bulan April 2016 dan saya masih suka jenuh aja kalo dengerin musik sama berulang-ulang. Akhirnya browsing dan found the fact that these musicians are going to release their new albums :)

***

Young Magic - "Still Life"

Rilis: 13 Mei 2016

Seperti yang udah diceritain sebelumnya, saya suka Young Magic dari taun 2012 pas mereka muncul dengan albumnya "Melt". Begitu familiar sama lagu-lagunya, track "Night In The Ocean" dan "You With Air" langsung jadi favorit. Cuplikan scene dari video klip "Night In The Ocean" pun sampe nempel di ingatan, apalagi kalo bukan pas model cewe/cowonya saling gambar di kulit (hampir) telanjangnya masing-masing.

Kalo album kedua mereka, "Breathing Statues", punya kesan tersendiri ketika saya tinggal di Sydney. Entah kenapa setiap dengerin album yang rilis taun 2014 ini, saya jadi inget suasana kamar studio apartment dulu. Di pikiran langsung tergambar saya yang duduk di meja belajar, menghadap laptop dan menulis essay kuliah sambil ditemenin "Holographic", "Something In The Water" serta "Fall In". Suasana kamar yang relatively gelap dan lonely (karena tinggal sendiri, haha) itu seakan-akan ngedukung badan yang tiba-tiba bergerak sendiri ngikutin irama :p.



Jadi ketika saya tau mereka akan ngeluarin album baru bulan depan, wah rasanya nggak sabar! Untung kemaren sempet dengerin dua singles juga, "Lucien" dan "Sleep Now", yang videonya ada diatas tulisan ini. Rasanya "Still Life" bakal lebih ambient dan relaxing gitu deh, which is bikin saya makin suka :)
Still Life is a deeply personal and idiosyncratic record, somewhere close to the enchanted electronic pop realms occupied by Björk and Broadcast, yet unique to Young Magic. Found sounds and textures feature prominently across Still Life, including the Javanese gamelan, blossoming into ecstatic bursts during the climax of “Lucien.” Melati grounds the textured sonic world with arrows direct to the heart, like the arresting “How Wonderful” where the singer overflows with regret for “all those things I never said.” This is as deeply personal as the group has ever been. - Carpark Records

***

Yumi Zouma - "Yoncalla"

Rilis: 27 Mei 2016

Pertama tau quartet asal New Zealand ini dari siapa yah, kalo nggak salah ngeliat temen dengerin ini di Path. Karena nama bandnya yang lucu, saya langsung cari di Spotify. Track by track dari kedua EP mereka saya coba, eh makin seneng aja. Apalagi "Dodi" dan "Catastrophe" dari "EP II", "Sålka Gets Her Hopes Up" dari "EP I" (ini satu-satunya lagu yang saya suka dari album itu, hehe), serta single "Right, Off The Bridge" yang pake banyak efek. Nggak tau efek apa sih, tapi suka banget #bukankritikusmusik.

Menurut saya, karya Yumi Zouma cocok dinikmatin pas jalan kaki saat udara lagi pleasantly warm - which is agak mustahil kalo di Surabaya yang 'sumuk pwol' - terus pas lagi ngelewatin taman dan sambil ngeliat anak-anak kecil lagi asik main, ketawa lepas. Atau sore-sore pas matahari awal-awal mau terbenam, angin semilir kecil-kecil but somehow masih bisa ngerasain anget, dan sambil ditemenin pasangan terus saling becanda. Yah, kok jadi kayak film gini :p. But it's true, musik Yumi Zouma nimbulin kesan tersendiri sih. Coba aja and let me know what you think :)



"Keep It Close To Me" yang rilis 8 April 2016 di Spotify pun jadi single perkenalan debut album mereka, "Yoncalla". Saya langsung suka juga sama yang satu ini. After-tastenya masih sama kayak abis dengerin lagu-lagunya dari "EP II" *ceile* dan menurut saya nggak banyak berubah. Seperti yang kontributor Pitchfork bilang di review single Yumi Zouma tersebut:
The effect is pure relief, like coming home after being away for too long and curling up in your own bed. - C.G. Mantera di Pitchfork, 8 April 2016
Yup, saya setuju sama apa yang dibilang penulisnya. Lagu-lagu band yang anggotanya tersebar di Auckland, Paris dan New York ini emang menyajikan musik yang relieving. Sampe-sampe penulis di Stereogum bilang kalo Yumi Zouma itu "have been making soft, ever-so-delicate waves with their beautifully aqueous pop music". Kata kuncinya soft, delicate dan beautifully aqueous yang emang pantes bikin jatuh cinta sama Yumi Zouma!
Yumi Zouma has always been an exercise in refining ideas and collaborating,” reflects guitarist Charlie Ryder, “but this was the first time we weren’t limited or protected by distance. With Yoncalla, the process was different, and it can be scary to present raw ideas to your friends ‐ but it’s also incredible to see songs evolve through the sparks of inspiration that bounce between people in the same room.” That intimacy is apparent on Yoncalla ‐ an album about being close to people, rather than miles apart. Yumi Zouma’s effortless waves of harmony have been redefined and the creative process laid bare to expose an act more unguarded and interconnected than ever before. - Cascine
***

Gold Panda - "Good Luck And Do Your Best"

Rilis: 27 Mei 2016

Saya pertama kali denger Gold Panda rasanya pas taun 2010-2011an, lupa pastinya. Pokoknya waktu itu liat video DJ asal UK ini lagi main di gig kecil, saya langsung suka sama track yang berjudul "You". Karena waktu itu music streaming belom terlalu populer, saya 'nakal' dan cari shortcut dengan nyari albumnya di Torrent dan download sembarangan. Lumayan, dari situ jadi makin kenal musiknya Gold Panda, khususnya album "Lucky Shiner" yang sampe di-burn khusus di CD kosong buat didengerin selama perjalanan :p. Namun sejak langganan Spotify, saya apus semua deh musik-musik bajakan yang nongkrong di komputer. Daripada menuh-menuhin memori, sekaligus 'support' karya artistnya juga 'kan :)

Anyway, selain "You", track favorit saya dari album "Lucky Shiner" adalah "Same Dream China" yang khas sama bunyi macem 'kluntung-kluntung' di awal dan "Marriage", yang diem-diem pengen saya puter kalo nikah nanti *LOL*. Selepas "Lucky Shiner", sayangnya saya nggak terlalu ngikutin Gold Panda lagi karena pas itu bosen sama musik tanpa vokal. Akhirnya album kedua doi, "Half Of Where You Live", saya lewatin.



Pas iseng browse kemaren, eh ternyata Gold Panda mau ngeluarin album baru! Saya jadi nostalgia deh, maklum udah lama nggak dengerin. Langsung deh saya search namanya di Spotify dan disitu muncul dua track baru yang rilis taun 2016 ini, yaitu "Time Eater" dan "Time Eater" yang paling recent. Pas baca-baca, ternyata album terbarunya "Good Luck And Do Your Best" ini terinspirasi dari Japan trip si Derwin, real namenya Gold Panda, di taun 2014. Wah, jadi nggak sabar kira-kira sound yang dihasilkan kayak gimana :).
The artist also known as Derwin Panda was inspired by two trips to Japan, including one accompanied by photographer Laura Lewis. The album’s motivational title came from a Japanese cab driver’s farewell. “He didn’t know English that well, but there’s a Japanese phrase called ‘ganbatte, kudasai,'” Panda said in a press release. “And roughly translated, it basically means ‘do your best,’ or it can also mean ‘good luck.'” - Anna Gaca in SPIN (February 23, 2016)
***

Yak, itulah 3 artists luar yang albumnya saya tunggu di bulan Mei 2016. Selain mereka, saya juga penasaran sama The Naked and Famous sama The Preatures yang lagi ngerjain album barunya. Thanks to Instagram!
Viewing all 131 articles
Browse latest View live